Mohon tunggu...
Seneng Utami
Seneng Utami Mohon Tunggu... lainnya -

an ordinary woman

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekuatan Sebuah Mimpi

17 November 2018   09:39 Diperbarui: 17 November 2018   12:57 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap mata ini terbuka dari tidur pandangannya langsung menuju dinding ruangan yang bertempelkan aneka tulisan dan beberapa lembar poto. 

Sekilas yang tertempel itu membantu menguatkan apa yang sedang saya impikan. Jika ditanya sebenarnya apa mimpinya, dengan jujur saya belum bisa menyebut satu mimpi yang spesifik tetapi dalam hati saya ingin bisa menggapai mimpi setinggi- tingginya.

Keberhasilan mimpi yang seperti apa tentunya disesuaikan dengan target kita masing- masing. Semakin tinggi mimpi yang kita inginkan semakin besar pula tantangan dan rintangannya, akan tetapi yang sulit itulah yang semakin bernilai.

Katakanlah orang yang bermimpi menjadi guru dan kini telah menjadi guru serta mengajar di sekolahan bisa diartikan orang tersebut berhasil membuat mimpinya menjadi nyata. Tentunya formalitas untuk menjadi guru perlu menempuh pendidikan yang cukup lewat kuliah. Baik menjadi guru atau menjadi seseorang yang berketrampilan khusus lainnya pada intinya dibutuhkan perjuangan. Lalu bagaimana dengan pemimpi- pemimpi yang mimpinya tinggi sementara hingga saat ini belum mampu mendapatkan fasilitas setara dengan standar formal (kuliah)? Haruskah mereka berhenti bermimpi?

Disadari atau tidak setiap kali kita berpikir tentang mimpi kemudian terpikirkanlah bagaimana supaya tahu jalannya. Sedangkan kecenderungan berpikir dari masyarakat kita mengatakan yang terhormat itu yang melewati "jalan" pendidikan kuliah padahal yang benar tidak selalu. Dan menariknya dalam masyarakat kita ini batasan orang yang berstatus sosial tinggi dan yang tidak masih sangat terasa sekali. Akibatnya kesenjangan sosial pun tidak dapat dihindari.

Saya sebagai contoh misalnya dalam usia 27 tahun ini apabila saya menengok ke kanan dan ke kiri maka akan saya temui bahwa dari beberapa teman setingkat SMA mereka sudah berhasil membuat mimpinya menjadi nyata sesuai dengan target mereka. Ada yang menjadi guru, perawat, polisi, tentara, bidan dan menjadi orang yang ber-tittle lainnya. Lalu bagaimana dengan saya?

Kemanakah arah hidup akan saya tujukan dengan tanpa gelar ini, sementara mimpi saya masih tetap tinggi ...

Dikatakan kita tidak boleh merasa iri terhadap kepemilikan atau pencapaian orang lain sementara di luar sana ada- ada saja sumber yang membuat kita ingin dan hampir menjadikan kita merasa iri. Dikatakan hidup ini tidak adil, tetapi diantara kita yang mempercayai keberadaan Sang Pencipta, Dia telah berbuat seadil- adilnya dan sesuai Kehendak- Nya. Sehingga mau berupa bagaimana pun hidup yang kita punya ya tinggal disyukuri dan dijalani saja. Dikatakan hidup ini susah dan sulit maka bergantunglah dari bagaimana cara berpikir kita ini sendiri.

Sepanjang perjalanan hidup ada tiga hal yang saya tembus untuk tetap berani bermimpi, saya tidak mau dikekang oleh tiga pernyataan ini:

Miskin dan bodoh
Dalam hal materi terlepas saya adalah orang yang asli miskin  atau tidak, yang jelas telah saya alami tentang yang namanya hidup susah. 

Bahkan orang tua saya mau memperkerjakan pekerjaan yang terbilang cukup menguras tenaga walau penghasilannya tidak seberapa. Sebenarnya tidak masalah apabila keadaan kita saat ini memang masih dihadapkan pada keadaan yang begini- begini saja, namun yang perlu berhati- hati justru pada pembentukan "image" yang kita ciptakan sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun