Mohon tunggu...
Denty Eka Widi Pratiwi
Denty Eka Widi Pratiwi Mohon Tunggu... -

Anggota DPD-RI / MPR RI yang sedang mencoba eksis di dunia maya :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Potret Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Jawa Tengah

14 April 2013   14:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:12 7126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="470" caption="foto: koran-jakarta.com"][/caption] Negara Indonesia telah berkomitem untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam hal ini, konstitusi Indonesia telah meletakkan HAM sebagai salah satu fokus perubahan menyambut reformasi. Sejumlah peraturan perundang-undangan juga dibentuk dan diratifikasi untuk diberlakukan. Untuk itu, tulisan ini akan menguraikan berbagai bentuk jaminan perlindungan HAM dalam peraturan perundang-undangan dan efektifitasnya, terutama yang terkait dengan HAM tentang kebebasan beragama di Jawa Tengah. Sebagaimana diketahui, deklarasi universal tentang HAM yang diadopsi PBB tahun 1948, khususnya dalam ketentuan Pasal 18, 26 dan 29, telah disebutkan mengenai pokok-pokok kebebasan beragama. Dalam ketentuan pasal 18, secara jelas disebutkan bahwa “setiap orang mempunyai hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama, termasuk kebebasan memilih dan memeluk agama, dan menyatakan agamanya itu dalam pengajaran, pengamalan, dan beribadatnya, baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok”. Selain itu, dalam konvenan internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada tahun 1966, dalam ketentuan Pasal 18 juga disebutkan pokok pemikiran yang sama dengan ketentuan dalam Pasal 18 Deklarasi Universal tentang HAM. Dalam onvenan internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Tahun 1966, dalam ketentuan Pasal 13 disebutkan bahwa “Semua Negara pihak yang meratifikasi konvenan itu harus menghormati kebebasan orang tua atau wali untuk menjamin bahwa pendidikan anak mereka di sekolah-sekolah dilakukan sesuai dengan agama mereka”. Kemudian dalam deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama atau Kepercayaan pada Tahun 1981, disebutkan dalam ketentuan pasal 1 bahwa “setiap orang bebas untuk memilih dan menganut agama, dan memanifestasikannya secara pribadi dan berkelompok, baik dalam beribadat, maupun pengajarannya. Selanjutnya dalam konvenan internasional Hak-Hak Anak pada Tahun 1989, khususnya dalam ketentuan Pasal 14, 29 dan 30 dinyatakan bahwa Negara-negara pihak, maksudnya Negara-negara yang telah meratifikasi konvenan tersebut, harus menghormati hak agama anak. Pada tahun 2009, Durban Review Conference mempertegas komitmen bahwa Negara-negara anggota PBB memperteguh komitmen mereka bahwa semua pernyataan yang bersifat kebencian keagamaan adalah termasuk diskriminasi yang harus dilarang dengan hukum. Dari berbagai instrument seperti yang telah diuraikan sebelumya, dapat diketahui bahwa kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan jaminan HAM yang telah diakui oleh bangsa-bangsa di dunia, sehingga bersifat universal. Negara Indonesia pun juga mengakui instumen-instumen tersebutut, dengan menuangkan substansinya ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan sebagian besar telah diratifikasi secara penuh. Negara Indonesia mengakui adanya jaminan terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan. Hal tersebut secara tegas tertuang dalam ketentuan Pasal 28E, 28I, dan 28J, yang mengatur tentang kebebasan beragama dan pembatasannya, yang hanya dapat dilakukan melalui undang-undang. Meskipun ketentuan tersebut dituangkan dalam konstitusi pada tahun 2000, namun pada tahun 1999 juga telah dilakukan penjaminan terhadap hak kebebasan beragama. UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, khususnya dalam ketentuan Pasal 22 dan 70, memberikan penegasan jaminan kebebasan beragama. Pada tahun 2005, Indonesia meratifikasi Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No. 11 Tahun 2005. Pada tahun itu juga, Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang tentang Hak-hak Sipil dan Politik PBB melalui UU No. 12 Tahun 2005. Pada tahun 2008, Indonesia terus bergerak maju memberikan kerangka perlindungan bagi semua warga negara dari segala bentuk diskriminasi rasial dan etnis dengan memberlakukan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis. UU 40/2008 memberikan penjelasan bahwa setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar-kelompok ras dan etnis dalam masyarakat dan negara. Lebih khusus dalam ketentuan Pasal 5, 6, dan 7, dinyatakan tentang perlindungan, kepastian, kesamaan, dan jaminan kepada semua warga negara untuk hidup bebas dari diskriminasi ras dan etnis. Untuk menjalankan jaminan tersebut, maka diperlukan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya pluralisme dan penghargaan hak asasi manusia melalui penyelenggaraan pendidikan nasional. Perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada tahun 2010, juga terdapat momentum yang perlu dicermati, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meletakkan tonggak penting terkait hubungan negara dan kebebasan beragama. MK dalam putusannya Nomor: 140/PUUVII/2009, Tahun 2010. MK berargumen bahwa negara memang tidak boleh mencampuri urusan doktrin agama, tetapi negara justeru harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin kebebasan dan kerukunan beragama. Bahkan negara juga dapat melakukan pembatasan-pembatasan yang tidak dengan sendirinya berarti mendiskriminasi melainkan untuk menjamin hak-hak orang lain. Dari berbagai instrument yang mendukung adanya jaminan kebebasan beragama tersebut, tentu saja dapat dikatakan bahwa Negara Indonesia berada dalam posisi yang kuat untuk menjaga dan memajukan kebebasan beragama. Namun, di sisi yang lain, juga perlu dicermati bahwa efektivitas berlakunya norma hukum, tidak akan terlepaskan dari proses penegakannya dan kultur kesadaran masyarakat untuk menjalankan hukum tersebut. Sangat dimungkinkan bahwa dalam tataran pelaksanaan norma tersebut, banyak terjadi masalah dan penyimpangan. Untuk itu, perlu adanya penyadaran masyarakat, bahwa dalam menjalankan HAM, perlu adanya kewajiban untuk menghargai HAM orang lain. HAM tidak boleh membahayakan ketentraman dan keselamatan umum, moralitas publik, kesehatan publik, kepentingan keadilan, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokrasi. Pelanggaran HAM juga dapat terjadi karena pembiaran oleh para aparatur negara, atau oleh pembiaran masyarakat yang tidak mau melaporkan dan menjadi saksi tentang terjadinya suatu pelanggaran HAM. Bahkan pelanggaran HAM juga dapat terjadi di lembaga-lembaga sosial yang memberlakukan peraturanperaturan internal yang melanggar prinsip-prinsip HAM. Karena itu maka kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan dan diberdayakan, sehingga pada gilirannya meningkatkan komitmen untuk menegakkan HAM. Di dalam Annual Report Kebebasan Beragama dan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2009 dikemukakan beberapa fakta sebagai berikut; Pada tahun 2009, kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan masih cukup banyak terjadi baik yang dilakukan oleh negara secara langsung (by comission) maupun tidak langsung (by ommission) berupa pembiaran terhadap pelanggaran kebebasan beragama oleh sebagian masyarakat terhadap sebagian yang lain. Pelanggaran yang dilakukan oleh negara masih banyak diwarnai tindakan-tindakan pemerintah baik di daerah maupun pusat melakukan pelarangan (restriksi) rumah ibadah, pelarangan keyakinan baik secara halus maupun keras, kriminalisasi keyakinan, pembatasan aktifitas/ritual keagamaan, pemaksaan keyakinan dan tindakan pembiaran. Pada 2 Januari 2009 terjadi sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh aparat gabungan dari Polda Jawa Tengah, Polwiltabes Semarang dan Kepolisian Resort Semarang Selatan, dengan membubarkan Pengajian Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Semarang di Pondok Pesantren Soko Tunggal, Sendangguwo Semaran. Pihak keamanan beralasan, kegiatan yang sedianya berlangsung dari Jum’at hingga Minggu itu belum mendapatkan izin pelaksanaan. Pihak kepolisian hanya menerima surat pemberitahuan dari pimpinan Pesantren Soko Tunggal yang ditandantangani oleh pengasuh pesantren setempat, Dr. KH. Nuril Arifin Husein, MBA. Dalam surat pemberitahuan disebutkan bahwa kegiatan itu meliputi silaturahmi tahunan (Jalsah Salanah), taklimul Qur’an dan donor darah. Karena sifatnya hanya surat pemberitahuan (bukan izin) maka polisi merasa perlu untuk membubarkan kegiatan tersebut. Kemudian pada 16 Oktober 2009, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mencabut surat IMB (Izin Mendirikan Bangunan) Gereja Stasi Santa Maria yang akan dibangun di Desa Bungur Sari, Kec. Cinangka. Pencabutan ini mengejutkan karena sebelumnya Bupati Purwakarta ini juga yang menandatangani surat izin tersebut. Alasan pencabutan adalah adanya hasil penelitian Forum Kerukunan Umat Beragam (FKUB) dan Departemen Agama (Depag) Purwakarta yang menyatakan bahwa persyaratannya masih kurang lengkap. Syarat pertama bahwa jemaat harus berjumlah minimal 40 orang memang sudah dipenuhi pihak panitia pembangunan, namun secara teknis masih cacat. Yakni, dukungan warga sekitar rumah ibadah, dengan dibuktikan KTP, menurut penelitian FKUB dan Depag, hanya berjumlah 45 orang. Jumlah ini harus ditambah 15 orang lagi agar bisa genap 60 orang seperti disyaratkan Pemkab. Ketua Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ), Theophilus Bela menyatakan bahwa izin pendirian gereja tersebut telah mendapat dukungan tanda tangan dari 60 warga. Namun, karena takut akibat teror dari kelompok Front Pembela Islam (FPI) mengakibatkan jumlah warga yang telah menandatangani dukungan menyusut menjadi 45 orang. Pada 14 April, UNIT Reskrim Polsekta Tegal mengamankan/menangkap Solikhin, warga Desa Pacul, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal yang dihajar massa beberapa hari sebelumnya karena dianggap menyebarkan aliran sesat bernama “Aliran Tegak Mandiri” di daerah tersebut. Aliran itu sendiri menurut Solikhin diperoleh setelah melakukan puasa total tanpa makan dan minum pada hari-hari tertentu. Terutama tepat pada hari kelahirannya. Ia juga memperoleh bisikan dari roh halus yang berisi ”ajaran” sembahyang tidak harus lima waktu, melainkan cukup dilakukan bila ada niat. Menjalankannya pun, tak harus seperti layaknya umat Islam yang menjalankan shalat. Bukannya melakukan penangkapan terhadap para pelaku penganiayaan, Kapolresta AKBP Drs Ahmad Husni melalui Kapolsekta Tegal Selatan AKP I Wayan Sudiasa menyatakan, pihaknya kini tengah melakukan upaya penyidikan intensif terhadap pelaku (Solikhin), dan para saksi. Pada bulan ini juga Pemerintah Kabupaten Kudus melalui Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) akan segera memanggil Sabdo Kusumo. Kepala Dinas Kesbanglinmas memberikan penyadaran terhadap aliran yang dianggap sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Letak kesesatan aliran ini, bahwa din dalam kitab aliran tersebut menyebutkan bahwa syahadat yang digunakan disebut Shadat Ma`rifat dan tidak mengakui Muhammad sebagai Rasul. Kitab tersebut justru menyebut Sabdo Kusumo yang bergelar raden sebagai rasul dan salam yang digunakan juga menyebut Sabdo Kusumo yang memiliki nama asli Kusmanto sebagai rasul. Selain itu, juga terdapat tindakan-tindakan intoleransi berdasar agama dan keyakinan.  Suratno (49) warga Desa Kalinusu, Kecamatan Bumiayu adalah pimpinan Majelis Dzikir Al Fitroh (MDA) di Dukuh Krajan, Desa Kaliwadas, Kecamatan Bumiayu, Brebes. Aktivitas pengajiannya pada 16 Juni dihentikan lantaran dianggap meresahkan. Oleh warga sekitar mereka sering melakukan aktivitas berzikir dengan suara keras, kadang diiringi suara tangisan dan teriakan. Keterangan lain menyebut, ada pula yang menabrak-nabrak pintu mirip orang kesurupan. Pemberhentian terjadi setelah dilakukan musyawarah antara pengurus MDA, 50-an perwakilan warga, dan juga dihadari para pejabat muspika dan Kepala KUA Kecamatan Bumiayu. Dari Kudus, MUI Kabupaten Kudus memvonis Sabdo Kusumo pimpinan Raden Sabdo Kusumo alias Kusmanto Sujono di Desa Kauman, Kecamatan Kota Kudus, termasuk aliran menyimpang karena lafal syahadatnya berbeda. Dalam syahadatnya, kelompok yang diduga berkembang sejak 2005 itu tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah melainkan Raden Sabdo Kusumo sebagai utusan Allah. Pada 17 Nopember, sejumlah warga memberi tenggat Kusmanto Sujono alias Raden Sabda Kusumo yang menjadi pimpinan aliran Sabda Kusumo untuk segera meninggalkan lingkungan Menara Kudus. Pada Tahun 2010, juga terdapat pelanggaran terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan. Pada 28 Januari, MUI Pati Jawa Tengah mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ajaran A’maliyah adalah ajaran itu sesat, MUI Merekomendasikan kepada Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) untuk ditindak-lanjuti. Menanggapi rekomendasi ini, Pakem melakukan pemantauan ajaran A’maliyah, termasuk mengumpulkan beberapa bukti. Alat yang dipakai untuk memantau aliran ini adalah 10 kriteria aliran sesat yang dikeluarkan MUI. Pada 6 Mei 2010, terjadi pembiaran kekerasan oleh Polres Kendal terhadap pengikut aliran Ki Seco yang Dukuh Nglumbu Desa Tejorejo Kecamatan Ringinarum, Kab. Kendal, Jawa Tengah. Sebelumnya tempat pengajian aliran Pengajian Seco dibubarkan warga karena dituduh menyebarkan aliran sesat. Bukannya melindungi, sekitar 25 orang penganut aliran Seco diamankan Polres Kendal ke kantor polisi setempat untuk didata dan dimintai keterangan. Camat sendiri mengaku sudah melakukan pembinaan kepada pengikut aliran tersebut. Pada 10 Juli 2010, Gedung GKJ Sukerojo di Pepanthan Curug Sewu, Weleri Kendal Jawa Tengah dibakar massa yang tidak teridentifikasi pada malam Paskah. Masyarakat sigap dan segeramemadamkan api yang baru saja menyala sehingga tidak ada kerusakan berarti. Pada 7 Desember 2010 sebuah bom molotov meledak di Gereja Katolik Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah. Peristiwa ini mengakibatkan tembok gereja hangus, pot bunga hancur. Bom molotov meledak dua kali. Warga kaget bukan kepalang. Peristiwa terjadi pada jarak kurang seratus meter dari Markas Polsek Gatak. Tidak diketahui siapa dan apa motif pelemparan bom molotov ini. Pada Tahun 2011, masih terdapat berbagai tindakan yang intoleran terhadap umat Bergama. Di Semarang,07 Maret 2011, MUI Jawa Tengah mendesak Pemprov JawaTengah untuk mengeluarkan laranganterhadap aktivitas Ahmadiyah untukmenjaga iklim kondusif kehidupan beragamadi Jawa tengah. Pada 07 Juli 2011, di Mutilan, Magelang, FPI Jawa Tengah melakukan sweeping terhadap beberapa warung yang menjual miras di Muntilan menjelang Ramadhan. Sebelumnya, FPI menghimbau pemilik tempat hiburan menutup usahanya selama Ramadhan 1432 H untuk menghormati umat Islam selama menjalankan ibadah puasa dan mencoba menutup warung yang beroperasi di siang hari. Di Tahun 2012 juga masih terdapat banyak  pelanggaran terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan. Selama setengah tahun, dari Januari hingga Juni 2012, telah terjadi delapan kasus dan konflik bernuansa agama di Jawa Tengah, baik antar maupun intern umat beragama. Delapan kasus yang terjadi itu bentuknya adalah sikap intoleransi serta pelanggaran kebebasan beragama. Kasus-kasus itu, antara lain, pembubaran pengajian jemaah Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) di Kudus, penolakan warga atas pembangunan vihara di Salatiga, penghentian pembangunan Sanggar Sapto Darmo di Rembang, serta penghentian pembangunan Sanggar Ngesti Ksampurnan di Sumowono, Kabupaten Semarang. Juga terdapat vonis untuk pimpinan Amanat Keagungan Ilahi di Klaten karena dituduh menodai agama. Di Kudus ada kasus siswa warga penganut Sedulur Sikep dipaksa belajar agama Islam. Selain itu, penganut Ahmadiyah di Kendal, Tawangmangu, dan Temanggung yang mendapatkan tekanan dari warga setempat dan aparat kecamatan untuk menghentikan aktivitasnya. Jemaat Ahmadiyah di Kendal dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan untuk tidak akan melakukan kegiatan lagi. Selain itu, Warga Dusun Lamuk, Desa Kalimanggis, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung yang sedang menyiapkan perayaan Waisak diganggu oleh sekelompok massa beratribut GPK (Gerakan Pemuda Ka’bah). Mereka Menaiki motor menuju tempat acara peringatan milad (hari lahir), rombongan Kemuning, Sumowono, Kabupaten Semarang yang berjumlah 50 orang ‘mampir’ di panggung Waisak yang tengah dipersiapkan warga yang berada di depan Vihara Satya Dharma Wirya milik Sekte Kasogatan. Waktu itu massa dimungkinkan dari arah Kemuning, Sumowono. Ketika lewat, mereka berhenti dan memainkan gas sepeda motor. Mereka lalu naik ke panggung untuk acara Waisak, mereka lalu joget-joget sambil mengacung-acungkan celutit dan rantai besar. Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, potret pelanggaran HAM yang terjadi di Jawa Tengah cukup merisaukan. Bahkan Setara Institute mencatat bahwa pada periode Januari-Juni 2012, terjadi 17 kasus pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Tengah. Untuk itu, diperlukan sebuah refleksi dan pencarian solusi terhadap semakin meningkatnya tingkat pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Jawa Tengah. Sebagaimana diketahui, pembicaraan terkait dengan HAM dewasa ini sangat luas dan dikaitkan dengan aspek social, ekonomi, politik, hukum, hingga kebudayaan. Merujuk pada pernyataan Frans Ceunfin, HAM merupakan bagian dari hak moral yang bersemayam dalam kemanusiaan seseorang. Hak moral merupakan hak yang didasarkan atas norma-norma dan nilai-nilai moral, sehingga sumber langsung HAM adalah martabat luhur yang merupakan nilai yang melekat dalam diri setiap manusia. Kesadaran akan pentingnya hak-hak semakin menguat seiring dengan kesadaran moral umat manusia yang semakin berkembang. Dari situ, muncullah penghargaan dan pengakuan terhadap ha-hak, yang berhubungan erat dengan penghayatan nilai-nilai, khususnya moral. Kesadaran tersebut muncul ke permukaan sebagai sebuah kebajikan manusia yang melahirkan keyakinan tentang adanya hak-hak dasar yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran atau pengurangan hak-hak tersebut, tentu saja akan mengurangi martabat manusia. Amartya Sen memberikan pencerahan bahwa HAM dipandang terbaik dan secara mendasar hadir sebagai komitmen dalam etika social. HAM dalam pemikiran Sen berhubungan dengan dinamika dan perkembangan peradaban manusia yang memberi isi bagi HAM. Isi tersebut (HAM) selanjutnya diuji dalam ruang publik untuk mengukur, apakah klaim yang mengusung pembenarannya dapat dipertahankan secara etis. Dalam upaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan terkait dengan kebebasan beragama/berkeyakinan, penting untuk ditawarkan pentingnya pendidikan karakter sebagai solusi untuk menata ulang ruang publik. Perlu adanya sebuah upaya untuk menanamkan pemahaman dan pendidikan prinsip-prinsip universalitas, pluralitas dan heteroginitas yang harus dijunjung tinggi oleh generasi penerus bangsa. Dengan adanya sebuah generasi yang dapat memahami berbagai prinsip-prinsip tersebut, arena/ruang publik yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul, diharapkan dapat segera teratasi. Memang berat, tetapi harus segera diwujudkan. kunjungi: www.senatordenty.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun