Malam itu malam yang ketiga belas. Kebetulan, malam Jumat kliwon. Sri Baginda Bagaspatra masih belum menghentikan semadinya. Ini belum pernah dilakukan oleh Baginda. Setiap ada masalah, Baginda memang selalu melakukan semadi. Tetapi, biasanya hanya sehari semalam. Mungkin, sampai malam ketiga belas masih belum menemukan jawaban.
      Para menteri, punggawa, jawara, dan kerabat kerajaan tampak mulai gelisah. Begitu pula Sula. Lebih-lebih dalam waktu dekat Sula akan dikukuhkan sebagai putra mahkota yang kelak menggantikan kedudukan Sri Baginda. Ini semakin menambah kegelisahan Sula. Baru kali ini negara mengalami musibah yang sulit dipecahkan.
      Malam semakin sepi. Menteri, punggawa, dan para jawara yang setiap menunggu Baginda sudah tertidur. Mereka tertidur karena terlalu lelah. Sudah tiga belas malam tidak pernah tidur. Hanya Sula yang masih terjaga. Tiba-tiba terdengar olehnya suara orang batuk. Suara itu berasal dari tempat ayahnya bersemadi. Ternyata benar. Sri Baginda telah menghentikannya.
      "Ayahanda?!" panggil Sula.
      "Putraku! Ke marilah! Ada sesuatu yang akan ayah katakana kepadamu," kata Sri Baginda dengan suara pelan.
      "Ya, ayah," jawab Sula sambil mendekat ke ayahnya.
      "Untuk mengatasi bencana ini hanya kamu yang bisa mengatasi."
      "Apa yang harus kulakukan, ayah?"
      "Pergilah ke Gunung Puncangan!"
      "Di mana itu, ayah?"
      "Majapahit."