Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Para Pahlawan Kemanusiaan dan Dukungan Kita

7 April 2020   13:11 Diperbarui: 7 April 2020   13:30 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Indozone.id

Kemarin kabar duka kembali menimpa bangsa Indonesia dengan meninggalnya dokter senior, Naik L.Tobing. Dokter sekseologi dengan reputasi dunia.  Namun, virus corona  telah menghabisinya. Ini menjadi yang ke 19 jumlah dokter Indonesia yang  gugur di medan tempur melawan covid-19 seperti diinformasik Ikatan Dokter Indonesia. Menyedihkannya lagi, diantara para dokter itu setidaknya 3 orang  bergelar guru besar (Profesor) dan  beberapa bergelar Ph.D.  Artinya, Indonesia benar-benar sangat kehilangan orang-orang hebat.  

Data jumlah total tenaga medis Indonesia yang menjadi korban virus corona sejauh ini tidak tersedia, tetapi bisa diduga bila digabungkan dengan jumlah dokter meninggal tentu banyak. Kemungkinan mencapai 10% dari jumlah keseluruhan korban 2.491 (data per 6 April).       

Health.detik.com (27/3/2020) melaporkan negara Italia saja terdapat 37 dokter meninggal dan lebih dari 6.205 tenaga medis terinfeksi . Keseluruhannya mencapai hampir 9% dibandingkan dengan seluruh korban meninggal terinfeksi covid-19.

Nampaknya semua negara mengalami nasib yang sama. Dokter dan tenaga medis menjadi korban, justru karena berjuang menyelamatkan nyawa orang-orang lain yang terinfeksi. Mereka tertular dari pasien akhirnya ikut menjadi korban. 

WHO melaporkan jumlahnya antara 4-12%, mulai  dari China, Italia, Spanyol, Perancis, dan lainnya.  Bahkan, dalam catatan WHO ketika menghadapi epidemi SARS tahun 2002/2003 jumlah tenaga medis yang meninggal  jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 21%. 

Apa pokok masalah  penyebab kematian dokter dan tenaga medis?  Dirangkum dari berbagai sumber setidaknya terdapat dua masalah. Pertama;  dan ini paling umum adalah minimnya ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD). 

Beberapa keluhan seperti di Eropa dan Amerika adalah karena APD kebanyakan buatan China atau negara-negara Asia sehingga harus menunggu didatangkan dari luar negeri. Apakah itu juga yang dihadapi Indonesia? Di Rusia, warga sampai menginisiasi berbagai cara agar ikut berkontribusi memberi bantuan.  Salah satu teladan seperti dilansir Detik.news (7/4/2020),  Anastasia Engelhardt bersama timnya mengumpulkan dan menyalurkan masker, sarung tangan, alat masak, bahkan mendistribusikan makanan sehat dan cepat saji untuk para dokter dan tenaga medis yang sedang bergelut mengatasi virus corona.  Di Indonesia sejumlah individu dan kelompok telah memulai juga, namun terutama untuk tindak pencegahan bagi warga dan bukan bagi para dokter serta tenaga medis.  

Kedua; seperti diungkapkan Ketua PB-IDI, Ilham Oetama  Marsis, pasien tidak jujur ketika dimintai keterangan. Misalnya terkait gejala yang sedang dialami pasien, dengan siapa-siapa ia telah berhubungan (berinteraksi),  informasi tentang riwayat perjalanan ke wilayah terpapar COVID-19 atau yang telah ditetapkan sebagai zona merah. 

Ketidakjujuran pasien mengakibatkan penyimpangan tata laksana pasien. Padahal, diharapkan pasien jujur agar membantu tim medis mengidentifikasi penyebab sesungguhnya sehingga terpapar covid-19 sehingga bisa mengantisipasinya agar lebih aman, lalu memberi masukan ke pemerintah untuk melakukan disinfektan ke lokasi yang pernah dikunjungi, termasuk rumah pasien sekaligus treatmen kepada anggota keluarga dan orang-orang dekat, dan sejenisnya.

Mengingat masih akan butuh waktu lama menghadapi covid-19, serta antisipasi di masa depan, ini saatnya mengevalusi sistem pengaman dan manajemen penanganan Pandame/epidemi. Dibandingkan dengan penanganan SARS nampak jumlah korban di kalangan tenaga medis memang menurun.  Namun, jumlah itu masih sangat banyak dan seharusnya bisa lebih minimal. 

Sepanjang peradaban manusia sudah sering menghadapi epidemi dan pandemi sehingga seharusnya menjadi pembelajaran agar memperbaiki sistem pengamanan dan membuat persiapan lebih baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun