Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bersihkan Sampah Hoaks dari Ruang Publik-Politik

24 Januari 2019   17:08 Diperbarui: 1 Desember 2019   23:24 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Critias (460-403 BC). Greek sophist. One of the Thirty Tyrants. Engraving.

Era ini seolah diakui dan dibabtis dengan sebutan mentereng post-truth society, yang seungguhnya menyembunyikan asumsi berbahaya yang memberi panggung bagi sofisme. Para elit politik dengan posisi terhormat, kadang bahkan berlatar akademis berpangkat prestisius, pun ulama dengan reputasi keagamaan yang kuat, secara transparan aktif memproduksi dan atau menyebarkan informasi-informasi palsu. 

Mereka tidak segan-segan membajak Tuhan untuk membenarkan argumentasi yang diperjuangkannya. Masih segar diingatan publik, bagaimana wacana liar dimuntahkan dengan membuat pembelahan partai allah dan partai syeitan, prediksi kemenangan pilpres untuk calon yang diusung berdasarkan tanda-tanda dari langit, juga tanda-tanda alam, dan sejenisnya. 

Bahkan, menyebar tuduhan pro asing, PKI, anak haram, ijazah palsu, pengkhianat bangsa, musuh-musuh allah, dan sejenisnya kepada lawan politik. Sebuah tuduhan palsu yang terus direpitisi, dengan maksud agar menanamkan dalam benak masyarakat sehingga lama-kelamaan bisa diterima sebagai realitas. Semua itu menunjukkan dengan sebenar-benarnya cara kerja kaum sofis. 

Untuk menyerang lawan, misalnya Ahok dalam kasus pilkada DKI tahun 2017 yang kebetulan masih turunan Tionghoa, dikembangkan isu pribumi vs asing-aseng. Entah apa definisi pribumi dalam benak para pengusung isu ini, jelasnya pada saat bersamaan mereka mengusung Anis Baswedan, yang juga keturunan pendatang dari Timur Tengah.  

Ketika mengonsolidasi kekuatan dan dukungan untuk mempersiapkan capres dan cawapres 2019, diselenggarakan pertemuan ulama kemudian menghasilkan rekomendasi antara lain agar ulama diusung dalam pilpres. Sebagai pendukung capres Prabowo, diusulkan beberapa nama ulama untuk pasangan cawapres. Alih-alih mengakomodir rekomendasi ulama, Prabowo malah memilih dari internal partai Gerindra, yakni Sandiago Uno. 

Sebaliknya, petahana diluar dugaan memilih kyai Ma'ruf Amin, seorang ulama kawakan yang sekaligus ketua MUI menjadi cawapresnya.  Namun, dengan gaya sofistik yang lihai kelompok ini sukses merasionalisasi dukungan pada Prabowo-Sandi, yang bahkan keduanya menolak diuji kemampuan membaca kitab suci Islam. Bila diasumsikan kadar ke-Islam-an bisa diukur dari kemampuan membaca kitab suci, jelas dukungan para pendukung khilafah ini terhadap Capres no. 002  merupakan sikap inkonsistensi. Tetapi, sebagai penganut sofis justru sikap itu konsisten dalam inkonsistensinya itu.

Dilansir cnnindonesia,com (17/1/19) Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menyangsikan kesalahan data Praboowo dalam depat pilpres 17 Januari 2019 sebagai ketidaksengajaan. "Kita lihat pola, dan sepertinya berulang teraplikasi dan terpola, saya menduga salah data ini bukan sesuatu terpleset, bukan sesuatu yang tidak sengaja. Justru ini bagian dari strategi untuk melakukan disinformasi terhadap data dan fakta,"  demikian argumennya. 

Selain 'teknik salah data' yang digunakan Prabowo-Sandi dalam debat Capres itu,  Ari juga menyebut sejumlah kasus lain seperti kasus Ratna Sarumpaet, penyebutan tax ratio Indonesia hanya 10%,  selang  cuci darah di RSCM yang dipakai 40 orang, penderitaan petani beras Klaten akibat import beras yang membanjir,  dan sebagainya.

Sasaran antara kaum sofis adalah relativisasi nilai-nilai kebenaran, standar moral, kearifan budaya dan semua yang menjadi pegangan bersama seperti ideologi Pancasila, ajaran-ajaran moral agama, kearifan-kearifan budaya Nusantara, dan sebagainya. Termasuk didalamnya, delegitimasi terhadap lembaga-lembaga Negara, terhadap otoritas pemerintah, otoritas data statistik, dan apa pun yang berseberangan atau dianggap menghambat tujuan-tujuan politik mereka. 

Tujuannya, sekali lagi, bukanlah untuk menegakkan nilai-nilai agung tertentu sebagai pegangan bersama, melainkan semata-mata merebut kekuasaan. Bahkan, sekalipun mengusung simbol-simbol agama, mereka sesungguhnya bukan memperjuangkan esensi agama terlihat dari sikap-sikap dan metode yang digunakannya, yang jauh dari nilai-nilai kebaikan dan etika. Bukankah Allah adalah yang maha baik?

Kita perlu berefleksi lebih jauh. Kaum sofis Indonesia memiliki perbedaan yang khas. Antara lain tujuan-tujuan politik untuk meraih kekuasaan, sementara tujuan kaum sofis Athena sangat parktis, yaitu mengajari keterampilan beretorika dan debat. Lain dari itu, kaum sofis Athena dibatasi  oleh hak-hak kewarganegaraan.  Maka, di Indonesia implikasinya menjadi lebih serius dengan potensi merusak yang lebih dahsyat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun