Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bersihkan Sampah Hoaks dari Ruang Publik-Politik

24 Januari 2019   17:08 Diperbarui: 1 Desember 2019   23:24 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Critias (460-403 BC). Greek sophist. One of the Thirty Tyrants. Engraving.

Mereka menyelenggarakan kursus-kursus publik maupun private dengan memungut bayaran. Bahkan, beberapa tokoh disebut-sebut memiliki tarif tinggi, mungkin sama dengan para seminaris dan motivator di abad modern ini.  Ini tidak mengherankan, dikarenakan para sofis bukanlah warga negara Athena sehingga mereka tidak berhak memiliki properti. 

Mereka hanyalah pesiarah dari daerah sekitar, seperti Makedonia, Alexandria, Sicilia, Ionia, Persia dan sebagainya. Di Athena, yang boleh disebut sebagai kota metropolitan (meter=ibu, polis = kota. Metropolitan = ibu dari polis-polis lainnya) untuk ukuran zaman itu, para sofis berstatus pendatang (orang asing) yang hanya menumpang mencari nafkah.

Sulit menyebut sofisme sebagai ajaran kritis.  Bila pendahulu mereka, yaitu filsuf pra-Socartik (phusikoi) seperti Thales, Permanides, Empedokles, Herakleitos dan lainnya bergelut dengan upaya menemukan kebenaran hakiki (arche), kaum sofis lebih fokus ke 'bisnis pengajaran.'  Terutama untuk melatih keterampilan dalam beretorika.

Mengutip sejumlah pendapat, Copleston (1951, A History of Philosophy, Vol.1) menyebut kaum ini sebagai nihilisme filosofis (philosophical Nihilism), dan bahwa mereka memiliki keahlian dalam mempermainkan kata-kata sehingga bisa membuat hal-hal yang tidak masuk akal menjadi masuk akal, sebaliknya yang masuk akal menjadi tidak masuk akal.  Yang benar bisa dibuat salah, dan apa yang salah bisa dibuat benar, yang faktual menjadi maya dan sebaliknya. Tidak tanggung-tanggung, Platon menyebut kelompok sofis sebagai amoral, manipulatif, kaum intelektual dangkal, penyesat, dan sejenisnya.  

Mudah memahami pemikiran kaum sofis, bila terlebih dahulu mengungkap  asumsi filosofis mereka tentang manusia. Bagi sofisme, manusia pada dasarnya egois dan selalu dikendalikan hasrat untuk mengakumulasi apa saja yang diinginkan bagi kepentingan dirinya.  Asumsi filosofis ini nampak menyatu dalam tindakan praxis mereka.

Dengan klaim antropologis seperti itu, mudah menyimpulkan orientasi self-centered yang dijadikan panduan filosofi hidup. Tokoh-tokoh utama yang dapat disebut sebagai juru bicara aliran filsafat relatifisme purba ini antara lain Protagoras, Prodicus, Grogias, Thrasymachos,  Antipas, dan lainnya. Quote (kutipan) yang tercantum di bawah judul tulisan ini sedikit menggambarkan corak filosofisnya, yaitu bahwa kebenaran tidak memiliki ukuran baku sehingga tergantung pada situasi setiap orang.  Yang baku adalah kebenaran ku, kebenaran mu, kebenaran dia, dan sejenisnya.

Protagoras misalnya, menyatakan bahwa persepsi setiap orang itu benar (atau pasti memiliki unsur kebernaran), sementara Grogias berpendapat sebaliknya, bahwa tidak ada persepsi yang benar karena,  nothing exists!  Secara umum, kaum sofis merelatifkan semua ajaran kebenaran, hukum, ukuran-ukuran moral, dan kearifan-kearifan Yunani demi kepentingan diri. 

Dengan cara itu, mereka mengajari para pengikutnya menggunakan berbagai trik untuk memenangkan perdebatan. Mereka piawai dalam beretorika dan persuasi sehingga mudah memengaruhi massa. Terkait hukum misalnya, Protagoras mengajarkan bahwa keadilan itu semata-mata alat penguasa untuk menekan kelompok yang dikuasai. Apakah yang adil itu? "Adil adalah bertindak baik pada teman dan menjahati musuh," demikian Protagoras.

Apa dampak dari kehadiran kaum Sofis di Athena? Harus diakui ada hal positif, seperti kontribusi mereka dalam menginisiasi pendidikan formal, mempersiapkan masyarakat berpartisipasi dalam rezim demokrasi, memajukan Athena dari sikap kolot, membangun tradisi bernalar, dan sebagainya. Namun, dampak negatifnya paling eksplosif mengaduk-aduk fondasi nilai-nilai yang menjadi pegangan bersama masyarakat Athena, menggoyahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, menghasilkan orator-orator ulung  yang terampil beretorika  melandas pada asumsi-asumsi sesat dan rapuh. Argumentasi dan 'sikap intelektual' mereka tergantung pada orderan, bukan pada data, informasi, dan fakta-fakta yang bisa diuji. 

Bagi kaum sofis, kata-kata dapat menciptakan realitas, maka dari permainan katalah mereka mencipta realitas sebagai amunisi bagi argumentasi pemungkas mereka. Sofisme dalam filsafat sejak awalnya sudah mengandung negatifitas, karena dianggap jauh dari substansi dan 'roh' filsafat itu sendiri, yaitu terikat pada upaya pencarian kebenaran dan kebijaksanaan.

Kiranya paparan di atas memberi sedikit gambaran tentang kaum Sofis. Lalu, apa hubungannya dengan Indonesia? Hiruk pikuk politik yang kita rasakan, terutama sejak Pilkada DKI tahun 2012 dan 2017, juga Pilpres 2014 hingga Pilpres 2019 sepenunya menggambarkan bagaimana efektifitas metode sofistik bekerja.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun