Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada DKI, Bukan Masalah Siapa Menang tetapi Bagaimana Wajah DKI di Masa Depan

11 April 2017   18:24 Diperbarui: 12 April 2017   03:00 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah spanduk Jaga Pancasila dan Jaga NKRI dipasang di jembatan penyeberang Malan Matraman Raya, Rabu (23/11). Pemasangan spanduk di berbagai lokasi di Jakarta ini untuk mengingatkan pentingnya menjaga keutuhan NKRI di seluruh Indonesia. (Foto : Murizal)

Momen pelaksanaan pilkada DKI putaran kedua tinggal menghitung hari. Pertarungan dua kubu Basuki-Djarot (Badja) dan Anies-Sandi (AniSa) segera memasuki ‘ujian akhir.’ Berbagai babakan kampanye, debat, dan gaya “interaksi” (dengan ragam variannya) antara kedua pasangan kandidat maupun antar pendukung menjadi tontonan ramai di panggung politik DKI. “Eksibisi” dalam rangka pilkada itu dapat memberi gambaran kepada publik tentang karakter dan gaya kepemimpinan keduanya. Termasuk kontribusi dan pengaruh dari orang-orang (kelompok dan ormas), tokoh, maupun Parpol pendukung yang berada di belakangnya. Akan seperti apa Ibukota di masa depan dapat tergambarkan melalui kedua faktor di atas; karakter personal dan “tim pendukung.”

Peta politik nasional cukup mudah tervisualkan lewat pertarungan Pilkada DKI. Tokoh-tokoh utama macam Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, Prabowo Subianto, dan Soesilo Bambang Yudhoyono secara terbuka ikut membantu kampanye para kandidat diusung. Tokoh nasional lain yang memperlihatkan dukungan meski tidak kampanye secara langsung adalah Amien Rais, Dien Syamsudin, Rachmawati Soekarno, Ratna Sarumpaet, dan sebagainya. Kehadiran mereka tentu memiliki kontribusi serta memberi gambaran tentang visi dan orientasi kandidat. Tokoh-tokoh nasional ini dapat diposisikan sebagai pendukung ideologis yang layak dipertimbangkan pemilih, atau sekurang-kurangnya sebagai ‘endorser’ bagi paslon.  

Diskusi intensif  dan wacana publik akhir-akhir ini mengindikasikan adanya polarisasi dua ideologi besar yang tarik menarik, yaitu “ideologi agama,” dan “ideologi Pancasila.” Polarisasi ini nampak mencuat dalam iklim pertarungan Pilkada DKI. Diskusi-diskusi, gerakan massa, dan sebaran spanduk bertemakan “save NKRI atau Ideologi Pancasila” menggambarkan kuatnya tarikan dan benturan ideologis itu. Disinilah kerangka pikir diatas berguna sebagai ‘kaca mata’ untuk membaca dan memahami posisi kedua kandidat atau sekurang-kurangnya kecenderungan posisi mereka. Kecenderungan posisi itu akan ikut mewarnai kebijakan-kebijakan dalam kepemimpinannya di DKI.   

Di kubu Badja, dominasi kelompok nasionalis sangat kuat. PDIP yang menjadi kekuatan utama dengan dukungan Golkar, Hanura, Nasdem, PPP dan PKB merupakan parpol pendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.  Secara personal, selain Parpol pendukung di atas, kita juga bisa menyebut secara khusus sejumlah nama yang memiliki rekam jejak dipertanyakan publik. Sebut saja Setya Novanto yang diduga terlibat dalam sejumlah kasus korupsi, tetapi yang paling aktual adalah KTP-el.

Selain dari sisi pendukung, secara personal kita memiliki rekam jejak Basuki dan Djarot. Baik selama memimpin sebagai kepala daerah di Blitung Timur dan Kediri, maupun Basuki selama di DPR-RI. Kinerja dan kredilitas mereka terpatri kuat. Dalam posisi keduanya sebagai petahana pun mudah terlihat hasil kerja konkritnya di DKI. Sejauh ini jejak mereka bersih, kecuali sejumlah kasus yang diciptakan untuk mengganggu dan memojokkan mereka.

Bagaimana di kubu Anies-Sandi? Entah kebetulan atau memang terencana, pertemuan Anies Baswedan, Tommy Soeharto dan Habieb Riziek seperti di gambar di atas terjadi dalam haul Soeharto, sekaligus memperingati hari bersejarah yang dianggap sebagai legitimasi bagi rezim Orba naik takhta. Ya, tanggal 11 Maret atau dikenal dengan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Komunikasi Anies dan Habieb Riziek tentu sebelumnya sudah terjadi, setidaknya terkait demonstrasi-demonstrasi dan berbagai gerakan yang diinisiasi FPI yang memberi keuntungan politik bagi paslon Anis-Sandi.

Ironisnya, pada hari yang sama, di tempat yang sama dan dalam acara yang sama, cawagub paslon nomor 2 Djarot Saiful Hidayat yang juga datang sebagai undangan malahan ditolak oleh massa yang berada di luar masjid. Bahkan diusir. Sementara Anies, Tommy dan Rizieq sedang berakrab ria di dalam. Ini bisa memberi gambaran bagaimana Anies-Sandi kelak mengelola pemerintahan, dimana partisipasi politik diseleksi berdasarkan komposisi dukung mendukung atau kita-mereka. Secara langsung mungkin tidak, namun kecenderungan pendukung berlatar Islam garis keras nampaknya akan lakukan.

Anies Baswedan (paling kiri) duduk bersama pentolan FPI Rizieq Shihab (tengah) dan Tommy Soeharto (kanan) saat acara 51 Tahun Supersemar serta Haul Soeharto di Masjid At Tin, Jakarta Timur, Sabtu (11/3/2017) malam. [Suara.com/Istimewa]
Anies Baswedan (paling kiri) duduk bersama pentolan FPI Rizieq Shihab (tengah) dan Tommy Soeharto (kanan) saat acara 51 Tahun Supersemar serta Haul Soeharto di Masjid At Tin, Jakarta Timur, Sabtu (11/3/2017) malam. [Suara.com/Istimewa]
Tanggal 12 Maret 2017 ketika merespon dukungan Haji Lulung ke Paslon no.3, Cawagub Sandi Uno menegaskan keyakinan akan memenangkan Pilkada. “Adanya dukungan itu menambah optimisme kami mendapatkan suara 50 persen plus satu suara pada putaran kedua Pilkada DKI. Kami optimistis, lima pekan lagi, Jakarta punya pemimpin baru,” demikian Sandi.  (Sumber). 

Di latar konstruksi pilkada DKI terbayang Pilpres 2019. Di kampanye Anies-Sandi,  Prabowo Subianto menyampaikan, “kalau ingin saya jadi presiden 2019, lebih dahulu pilih Anies-Sandi jadi gubernur DKI” (Sumber). Proposisi kondisional ini menegaskan perkubuan dalam pilpres. Para pemilih di Pilkada DKI dengan sendirinya mengkonsolidasi diri dan pilihan sesuai preferensi politik di Pilpres sebelumnya, juga prediksi mereka untuk pilpres 2019.

Secara ideologis, Prabowo tergolong nasionalis. Itu tidak diragukan. Tetapi, ‘jurus kampanye’ yang mewacanakan kaitan Pilgub DKI dengan Piplres tidak mempertimbangkan sikon (situasi-kondisi). Sebab, dengan demikian para pemilih setia Jokowi, yang sebelumnya mungkin sudah terpengaruh ‘kampanye kafir dan penistaan’ Islam yang gencar dituduhkan ke Basuki (Ahok), menjadi kritis lalu melihat pertarungan Pilkada DKI sebagai Pilpres. Mereka tidak lagi bertarung untuk Basuki melainkan untuk Jokowi.

Prabowo dan Tim Anies-Sandi mungkin salah berhitung. Hasil survei menunjukkan tingkat kepuasan terhadap kinerja Presiden Joko Widodo masih sangat tinggi. Dalam kondisi demikian, semua pernyataan yang mengarah ke ‘pergantian presiden’ berpotensi kontra produktif. Prestasi Jokwi-JK tidak bisa ditutupi dengan slogan dan komentar sirik. Apalagi, dilakukan oleh tokoh-tokoh publik antagonis yang cenderung dianggap sebagai public enemy. Lihat saja, setiap komentar yang menjatuhkan Jokowi mendapat sorotan tajam dari publik. Tokoh-tokoh yang tidak kredibel dan tidak punya perstasi menonjol untuk bisa mendukung cercaan dan kritik mereka menyebabkan gaung tuduhan keras mereka bagai menampar wajah sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun