Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penolakan Valentine Day

14 Februari 2019   17:52 Diperbarui: 14 Februari 2019   18:16 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertama-tama bukan karena maksiat. Tapi persoalan takut kalah hebat. Soal gengsi dan bias klaim kebiasaan. Lalu pakai kata takut jadi sesat. Sejatinya bila hendak menolak maksiat, maka idealnya adalah melakukan pendidikan karakter baik di keluarga maupun di tempat ibadah. Namun nyatanya, lebih sulit menolak maksiat lewat kontrol sosial dan keluarga. Jalan mudahnya, menolak sekalian Valentine Day atau sejenisnya termasuk Perayaan Tahun Baru. Sebab cara ini paling gampang mengambil dalil. Bukan produk kebiasaan golongan sendiri, jadi jangan diikuti.

Sejatinya, perayaan Valentine sendiri bukan juga kewajiban. Bukan agenda keagamaan resmi, melainkan produk kebebasan berekspresi. Sebagaimana perayaan hari lain, munculnya ia adalah untuk pengingat.

Untuk Valentine dilekatkan dengan ingatan akan kasih sayang. Sayangnya, dibajak oleh kaum kapitalis, seolah kasih sayang itu soal coklat. Oleh kaum protes seolah jadi soal maksiat.

Jadi, eloknya baik semua pada keyakinannya. Sejauh tidak mendiskreditkan keyakinan orang lain, apalagi melekatkan semua yang jahat. Semua yang soal maksiat seolah terkait keyakinan orang lain. Baik bila budaya tanding Valentine bisa diadu dengan misalnya berkasih sayang dengan sedekah atau berkasih sayang dengan amal lainnya. Atau dengan kampanye, Kasih sayang setiap hari dengan amal.

Namun memang selalu lebih mudah menjatuhkan kebaikan pada tradisi yang dianggap bukan tradisi sendiri. Padahal memberi coklat sendiri bukan jaminan kasih sayang. Memberi bunga juga bukan jaminan. Tapi memberi coklat atau bunga, sudah pasti lebih baik daripada memberi hujatan kebencian. Apalagi dibandingkan kebiasaan menjelekkan iman orang lain.

Apakah maksiat coklat lebih buruk daripada kebencian pada yang berbeda? Rasanya sama.

Jadi tolaklah keburukan bukan karena dia ada di golongan lain, tapi karena buruk adalah buruk. Terimalah yang baik, bukan karena itu kebaikan golongan sendiri. Melainkan karena kebaikan tak kenal golongan dan agama. Kebaikan universal.

Memang, membeli coklat itu gampang. Segampang kita membenci perbedaan. Tapi cinta pada sesama manusia, menyebar rahmat pada semesta itu tidak gampang. Tak bisa dilakukan dengan hanya memberi coklat. Apalagi pakai seruan kebencian. Membenci itu segampang meludah ke tanah. Tapi mencintai itu, tak pernah benar-benar mudah. Ia butuh keberanian untung merendah.

Selamat merayakan hari kasih sayang bagi yang merasa momen ini penting. Buktikan kasih sayang anda bukan sekadar pada pasangan, namun juga keluarga besar masyarakat kita. Selamat menolak juga bagi yang anti manisan. Semoga ada budaya tanding lain yang lebih humanis untuk bisa kita jadikan perayaan kasih ala Indonesia.

Saya tak lagi merayakan Valentine seheboh masa puber dulu. Tapi kalau ada yang mau kirim coklat seember, atau kirim mentahnya saja, siap menerima saja. Kirim kebab atau kurma juga tiada masalah. Asal tidak pakai syarat nyoblos (Pemilu).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun