Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Teladan Mahfud dalam Relasi Ma'ruf Versus Ahok

11 Agustus 2018   11:59 Diperbarui: 11 Agustus 2018   12:25 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tapi kalau ada 1.000-2.000 orang yang akan mengancam nyawa 10 juta ini, dan ketika saya peringatkan dia tidak ikut, saya akan perintahkan bunuh di tempat! Sekalipun ada TV menyorot," - Ahok, 2014.

Kalau ada yang kecewa berlebihan terhadap Kiai Ma'ruf Amin yang bagi saya pribadi memang membuat fatwa politis soal penista agama. Patut direnungkan kata-kata Ahok yang dilontarkan menyikapi demonstran anarkis di atas.

Saya berpikir, Kiai Ma'ruf kala itu, barangkali memiliki cara pikir yang sama dengan Ahok. Meminimalisir resiko sosial politik dan mencegah jatuhnya citra MUI dengan menumbalkan satu orang yang dipandang bisa membahayakan kepentingan yang lebih besar.

Kala itu bila diingat kembali kondisi sosial politik mulai berubah panas. Bahkan berpotensi menimbulkan kericuhan yang lebih besar secara nasional. Sederhana, hanya karena posisi Ahok yang tampak menantang Kiai Ma'ruf di persidangan.

Risiko dari komentar Ahok soal Al-maidah malah makin bertambah dengan sikap menantangnya pada Kiai Ma'ruf selaku Ketua MUI maupun Rais Aam PBNU di persidangan. Sikap sarkas Ahok, memantik jalan politik yang justeru bersiko tinggi. Sikapnya malah makin memperbesar emosi massa. 

Peluang penggulingan Jokowi jelas makin terbuka kala itu. Sekelas Luhut Binsar Panjaitan dan petinggi POLRI serta TNI sampai harus sowan ke Kiai Ma'ruf demi mencegah amarah kalangan NU yang awalnya tak ikutan aksi demo Ahok, namun akhirnya terpancing marah karena sikap Ahok yang juga dipolitisir para buzzer oposan.

Merujuk sikap Ahok, bisa saja baginya demonstran yang ricuh wajar ditembak demi kepentingan yang lebih besar. Pun begitu dari perspektif Kiai Ma'ruf juga mungkin sesederhana Ahok. Entah dia punya kepentingan politik personal, atau demi merespon dan mencegah perpecahan sosial. Faktanya kala itu, situasi memang serba riuh karena polemik lisan Ahok.

Bedanya, Ahok emosional menyebut bunuh. Sementara Kiai Ma'ruf "meredam" emosi publik yang turut dipanaskan para politikus oposan. Dengan fatwa politisnya menggiring Ahok ke proses hukum. Meredam kerugian politik yang lebih besar yang berdampak pada ratusan juta rakyat. Termasuk pada pendukung Jokowi sendiri yang bisa saja kehilangan idolanya.

Saya pribadi, jelas melihat Kiai Ma'ruf tak seelok dan searif Gus Mus dalam melihat situasi pluralitas sosial masyarakat kita. Kiai Ma'ruf jelas lebih terlihat punya tendensi politik, karena ia memang berada di dunia politik praktis sejak lama. 

Berbeda dengan Gus Mus yang ranahnya pada kebudayaan atau Qurais Shihab pada wilayah kajian keislaman lainnya. Saya juga tak bersemangat melihatnya terpilih jadi Cawapres sama seperti saat Jokowi dipasangkan dengan JK yang kala itu juga sempat melecehkan Jokowi. Coba ingat dengan kontroversi JK soal siap tidaknya pria Solo itu memimpin.

Toh, meski bukan pilihan ideal Jokowi karena ia tak memimpin partai. Pada akhirnya Jokowi menunjukkan kepiawaian menyeimbangkan dinamika politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun