Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pekan Raya Sumatera Utara, Momentum Kebudayaan Karo

2 April 2016   01:44 Diperbarui: 2 April 2016   02:04 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang diaspora Karo yang ber-KTP Aceh Tenggara dan berdomisili jauh dari pusat peradaban Karo, penulis melihat figur Plato Ginting. Figur seniman muda Karo yang mengusung cita rasa musik baru di kalangan kita. Sebagai figur yang akan tampil di PSRU tahun ini, Plato Ginting dengan usungan musik cita rasa barunya pantas untuk disimak.

Plato Ginting yang penulis kenal sebagai pribadi yang gigih mendorong tampil kembalinya kesenian Karo, adalah figur pemantik kesadaran. Kesadaran akan adanya harapan kita untuk membawa kesenian khususnya musik Karo untuk lebih diterima kalangan luas. Jujur harus penulis akui, kegigihannya itu pula yang membuat sikap apatis terhadap musik Karo yang begitu-begitu saja itu menjadi berbeda. Dulu, penulis melihat musik Karo akan melulu menampilkan figur penyanyi itu sendiri ketimbang mencicip musiknya itu sendiri. Sebab sejak dari masa kecil, musik Karo tak lebih mengusung alunan yang sama. Meski tak dipungkiri ada pula yang mencoba memadukannya dengan genre musik yang berbeda.

Di tangan seorang Plato Ginting yang hanya beberapa bulan penulis kenal saat masih berada di Yogyakarta, musik Karo menemukan daya pikatnya. Suaranya yang melengking dan cengkoknya barangkali tak jauh berbeda dengan penyanyi Karo lainnya. Bahkan sekilas dulu penulis mendengar suaranya mirip dengan penyanyi kenamaan Karo, Harto Tarigan.

Tetapi untuk pertama kalinya, penulis melihat bagaimana musik instrumental khas Karo terdengar lebih menarik berkat aransemen Plato Ginting. Pada akhirnya, penulis mencicipi bukan semata figur penyanyi atau suaranya. Lebih dari itu mencicipi musik itu sendiri yang instrumennya tentu dipadukan dengan instrumen musik non-tradisionil Karo. Disini, kreativitas itu melahirkan cita rasa baru tanpa meninggalkan identitas khas musik Karo itu sendiri.

Meski harus diakui bahwa musisi Toba seperti Vicky Sianipar dan lainnya jauh lebih dulu melakukan terobosan untuk membuat kesenian mereka mudah diterima oleh telinga masyarakat luas, toh kita tidak terlambat. Tidak juga kehilangan semangat perubahan dalam memandang musik itu sendiri. Plato Ginting hanya satu dari sekian generasi muda seniman Karo yang berjuang membawa musik Karo untuk lebih tumbuh dinamis ditengah pluralitas pilihan musik yang ada.

Melalui debut pertamanya, KAM misal, telinga kita yang sekian puluh tahun mendengar musik Karo yang itu-itu saja akan menjadi tergelitik. Bagaimana tidak, melalui single pertamanya dalam bahasa Karo itu kita bisa merasakan renyahnya musik ala orkestra. Sebuah sajian musik yang masih terbilang langka di blantika musik Karo saat-saat ini. Tentu saja penulis paham, untuk menyajikan musik yang demikian tidak semudah menyajikan musik ala kadarnya sebagaimana lazimnya dilakukan oleh musisi kita yang harus berlomba dengan kepentingan bisnis musik itu sendiri.

Plato Ginting, sebagaimana penulis ketahui dari beberapa cerita para sahabatnya di Jogja, memiliki idealisme serta independensi bermusik yang belum sepenuhnya terkontaminasi oleh kepentingan bisnis penjualan album. Cita-citanya sebagai seorang pemuda Karo yang juga menempuh studi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, tak lain melihat musik Karo beranjak selangkah dari kandangnya. Beranjak ke telinga penikmat musik yang lebih luas. Sehingga dengan demikian, kesenian musik Karo tak sebatas menjadi konsumsi masyarakat Karo tetapi juga konsumsi telinga masyarakat Indonesia. Pada titik ini, bila langkahnya berhasil maka sebagaimana K-Pop mampu membawa efek domino bagi perekonomian dan penguatan identitas kultural Korea, maka demikian pun kita. Identitas kultural Karo pun diharapkan lebih dikenal luas melampaui sekat masyarakat Karo itu sendiri.

Tentu saja dalam hal ini, arah tulisan ini bukan penokohan seorang Plato Ginting. Lebih besar daripada kepentingan Plato Ginting sendiri, ini adalah kepentingan masa depan musik Karo dihadapan generasi muda Karo itu sendiri. Semangat seorang Plato Ginting tidak akan berarti apa-apa tanpa semangat besar generasi muda Karo untuk bangga memeluk identitasnya. Termasuk mencintai dan mendukung pengembangan musik Karo itu sendiri.

Maka tanpa melewatkan momentum Pekan Raya Sumatera Utara sebagai ajang pembuktian kecintaan kita pada Budaya Karo, mari hadir di acara tersebut. Khususnya pada 07 April sebagaimana agenda untuk Kabupaten Karo sendiri. Serta lebih khusus lagi pada Rabu, 13 April untuk penampilan Plato Ginting dan kawan-kawan.

Mari dukung musisi Karo yang hadir dalam kesempatan tersebut. Mari apresiasi warna dan cita rasa baru musik Karo yang akan disajikan berbeda dalam kesempatan tersebut. Cocok kam rasa, sempatkan hadir disana. Sebab bagi kami yang belum mampu menyempatkan hadir karena faktor jarak dan serpi, hanya tulisan semacam ini yang bisa kami berikan. Demi menunjukkan cinta dan harapan kami akan berkembangnya musik dan lebih besar lagi kebudayaan kita Kalak Karo.

 

KAM Karo, Aku Karo, Kita Kalak Karo.

Cocok KAM rasa? Mejuah-Juah man banta kerina, Mejuah-juah Mpal!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun