Mendengarkan keluhan orangtua mengenai perilaku anak yang sulit diatur mungkin telah menjadi makanan sehari-hari para guru. Pada situasi lain, obrolan serupa dapat anda temukan dalam suatu perkumpulan orangtua kala menunggu anaknya pulang sekolah. Dimana mereka berbagi pengalaman keluhan parenting menghadapi perilaku anak yang suka menentang.
Lantas, seperti apa yang dimaksudkan dengan perilaku menentang atau sering disebut bermasalah? Dalam bahasa inggris, rujukan perilaku demikian dikenal dengan istilah challenging behavior. Sebut saja tantrum, menolak mengikuti aturan, berteriak, melempar atau merusak barang, dan ledakan emosi yang meluap-luap adalah beberapa contoh perilaku menentang anak yang dihadapi orangtua.
Pada umumnya di Indonesia, kebanyakan orangtua melabeli anak dengan masalah perilaku diatas sebagai anak nakal dan pembuat onar. Tindakan tersebut bisa dipahami, mengingat beban orangtua dalam mengasuh anak tidaklah mudah. Mereka rentan terpapar stres dan frustrasi karena tidak selalu sukses mengontrol perilaku anaknya setiap hari.
Di sisi lain, anak memiliki hak dan kebutuhan untuk mendapat perhatian serta kasih sayang apapun kondisinya. Apabila hal ini tidak terpenuhi dari dalam keluarga, maka akan menyebabkan komplikasi masalah di masa mendatang.Â
Sebagai pendahuluan, perlu diketahui bahwa perilaku anak adalah representasi dari emosi yang sedang dirasakan. Misalnya, seorang anak menggambar sambil bersenandung menandakan ia merasa senang, tapi kemudian tiba-tiba menangis keras saat orangtuanya berpamitan. Kira-kira apa yang terjadi dalam batinnya? Mungkin ia merasa takut ditinggal atau sedih berpisah dengan orangtua.
Alih-alih menenangkan dengan berkata "Mama harus pergi kerja supaya dapat uang untuk beli mainan", lebih baik anda memeluk kemudian jelaskan situasinya. "Kamu sedih ya karena ga mau pisah sebentar sama mama. Maaf ya sayang, sekarang mama harus kerja dulu. Â Selesai kerja, mama akan langsung pulang ke rumah dan main bareng kamu. Kalau adek kangen, video call mama aja pasti mama jawab teleponnya".
Ilustrasi sederhana ini menyiratkan pesan bahwa perilaku anak yang menurut orangtua "bermasalah" ternyata memiliki makna tersembunyi. Entah itu perasaan, pikiran mengganggu, hak yang tidak terpenuhi, bahkan bisa pula menjadi topeng untuk menutupi masalah yang tidak sanggup ia ungkapkan secara langsung.
Jika ditelusuri lebih dalam, wujud asli dari "topeng" Â tersebut tidak sesederhana emosi dasar seperti senang, sedih, marah, dan takut. Namun, terdapat permasalahan batin yang kompleks dan rumit untuk bisa mereka pahami di tingkat usianya.Â
Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa sama seperti orangtua, anak juga rentan mengalami stres dan frustrasi akibat bingung terhadap situasi yang dialami. Kegagalan memahami dirinya tersebut membuat mereka cenderung menampilkan perilaku meledak-ledak sebagai bentuk protes dan konfrontasi. Padahal yang sebenarnya mereka butuhkan adalah pertolongan orang dewasa untuk membantu membenarkan benang kusut di kepalanya.