Mohon tunggu...
Harun Al Rasyid Selano
Harun Al Rasyid Selano Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sorong, Komisariat UNIMUDA.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Manusia Beragama? (Bagian 3)

29 Mei 2020   07:38 Diperbarui: 29 Mei 2020   11:19 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Proses Kemunculan Agama Melalui Dimensi Intelektual atau Kognitif

Pada bagian sebelumnya, kami telah mengangkat permasalahan proses kemunculan agama melalaui pendekatan pengalaman (Experience Aproach), yang mana dalam standing point pada bagian tersebut ialah kami berusaha menjelaskan serta menunjukan secara se-sederhana mungkin, tentang bagaimana dengan adanya suatu pengalaman yang dialami oleh manusia, yang kemudian pengalaman itu bermetamorfosa menjadi suatu keyakinan keagamaan dengan memiliki tokoh dan sebutan-sebutan tertentu yang disematkan kepada seseorang atau sosok tertentu sebagai simbol dari agama-agama yang ada. 

Maka pada bagian ini adalah suatu bentuk keberlanjutan yang tidak terpisahkan dari topik sebelumnya dengan menitik-beratkan pada suatu standing point pembahsan yaitu tentang bagaimana proses pengalaman itu berubah menjadi suatu dimensi intelektual, yang dari dimensi intelektual tersebut kemudian mempengaruhi cara berpikir seseorang sehingga dia berkesimpulan yang "dogmatis" melalui hasil pemikiran tersebut menjadi suatu ajaran agama. 

Sebagai mahluk yang mempunyai daya kognitif, manusia merupakan jenis mahluk hidup yang sangat berbeda dari segala jenis dan bentuk mahluk-mahluk lain di dalam jagat raya atau alam semesta ini dalam banyak fariabel, terutama segala sesuatu yang berkaitan dengan dimensi intelektual. 

Manusia selain memiliki dimensi kognitif atau rasa ingin tahu (sense of cariousity), dia selalu dan senantiasa juga pada suatu sisi terpengaruh oleh insting kebinatangannya untuk melakukan segala sesuatu yang bisa mendukung eksistensi dan keberlanjutan dari kehidupannya selama berada di dunia. 

Ketika seekor singa merasa lapar, maka dia akan keluar dari tempat rebahannya untuk berburu dan menerkam mangsanya, ketika seekor kucing yang sedang kelaparan maka dia akan tetap senantiasa menunggu dengan setia di depan suatu meja makan hingga tuannya usai melakukan hajatnya (makan) kemudian kucing tersebut mencuri kesempatan untuk mencari tulang atau segala sesuatu yang memungkinkan untuk dimakannya sebagai sebuah upaya untuk mempertahankan eksistensi dirinya agar tetap hidup di dunia. 

Begitu pula dengan hewan-hewan lain yang akan dengan sangat antusias untuk bertidak ganas diantara sesama hanya demi memenuhi suatu tuntutan kebutuhan dasarnya yaitu berupa kebutuhan pangan. Maka dengan adanya tuntutan pangan semam itu, untuk memenuhi kebutuhan dasar dari hewan-hewan tersebut, lahirlah suatu tatanan kehidupan yang sama sekali tidak memiliki keteraturan. 

Ketidak-teraturan tersebut kemudian menyebabkan yang kuat memangsa yang lemah, yang cepat mengalahkan yang lambat, dan seterusnya. Inilah yang disebut dengan kehidupan dalam tatanan Hukum Rimba, yaitu suatu bentuk tatanan kehidupan secara kolektif yang tidak terikat sama sekali oleh aturan-aturan tertentu untuk menjalankan kehidupan demi menjaga keharmonisan dan keteraturan yang ada di dalam kosmos. 

Berbeda halnya dengan manusia. Manusia di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia senantisa menggunakan potensi kognitifnya untuk melakukan segala sesuatu demi mewujud-nyatakan kebutuhan serta keinginan-keinginannya. Bukan hanya dalam cara bagaimana memperoleh makanan yang merupakan salah satu dari kebutuhan primernya, manusia juga memiliki kepekaan sosial yang tidak kalah penting dari rasa lapar yang menghampirinya. 

Misalnya ketika sepasang manusia yang hendak menyalurkan syahwat atau kebutuhan birahinya, mereka akan mencari tempat yang tidak akan terjangkau oleh pandangan manusia lainnya, ketika melihat manusia yang lain mengalami suatu kesulitan hidup maka dimensi kepekaan sosialnya pun mendorongnya untuk membantu, di dalam memperoleh makanan manusia menciptakan alat-alat khusus sebagai upaya untuk memudakan dia dalam mencari kebutuhan tersebut. Tidak seperti hewan yang hanya mengandalkan kekuatan fisik dan ketajaman cakar dan taringnya, manusia lebih dominan mengedepankan daya intelektualnya untuk melakukan segala hal tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun