Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis (Fiksi yang Bagus) Itu Susah [Bagian 2]

3 Desember 2019   01:42 Diperbarui: 3 Desember 2019   23:58 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi karya fiksi - origami kapal di dalam botol. (sumber: .1x.com)

Tadinya saya ingin membahas soal bagaimana menuliskan akhir dari sebuah novel. Akan tetapi, saya lebih tertarik menulis soal takaran diri dalam menulis fiksi. Apa dasarnya? Tidak ada.

Saya hanya ingin berbagi pengalaman. Mudah-mudahan bisa membuka pemikiran kalian soal proses menulis fiksi.

Saya mengawali perjalanan mengasyikkan ini sebagai pembaca senyap. Buruan saya adalah cerpen dan cerita bersambung di laman Kompasiana. Beberapa nama langsung menjadi favorit dan selalu saya nantikan kemunculannya. 

Lama-kelamaan, saya tergoda untuk menulis sendiri. Awalnya cerpen, lalu cerita bersambung. Puja-puji meluap bersama rasa percaya diri saya terhadap dunia tulis-menulis ini.

Tahun 2013 pertama kali saya dengar soal UWRF (Ubud Writers dan Readers Festival). Saya menghadiri salah satu sesinya yang kebetulan digelar di Denpasar. 

Di situlah saya bertemu Langit Amaravati, salah satu penulis yang berhasil lolos seleksi emerging writer gelaran tersebut. Sepulang dari sana, saya berpikir, kenapa saya tidak mencoba mengikuti seleksi untuk tahun berikutnya? Toh saya punya banyak amunisi.

Tidak ingin gegabah, saya seret salah seorang admin senior Fiksiana Community untuk membantu sama memilih tulisan mana saja yang layak dijadikan portofolio.

Iya, saya pikir saya sudah memperhitungkan segalanya.

Nyatanya?

Iya, saya tidak lolos.

Belakangan saya berpikir, "Yaelah, elu siapa sih, Moy? Remahan cilok aja belagu ndaftar UWRF." Orang lain mungkin saja mendaftar seleksi di tahun berikutnya, tetapi saya tidak. 

Entah apa alasan saya waktu itu, hanya saja saya tidak menyesalinya. Itu keputusan yang tepat. Sebab, jika memaksa, mungkin saya akan frustrasi dan malah sama sekali meninggalkan aktivitas menulis.

Baca juga: Menakar Kemampuan Diri dalam Menulis Fiksi (artikel sebelumnya)

Ya, saya tetap menulis sampai sekarang, tetapi tidak mengklaim diri saya sebagai penulis. Saya editor, dan profesi itu ternyata menyelamatkan jiwa saya tepat selepas keterpurukan karena gagal lolos seleksi. (hilih, lebay lu, Moy!) 

Saya editor, yang sesekali membuat artikel apalah-apalah demi reward uang virtual buat jajan burger di mekdi. (Moooy...) Saya editor, yang sesekali suka pamer pekerjaan di media sosial demi meyakinkan friend list bahwa saya bukan penulis yang ditinggalkan penggemarnya. (Mooooooooyyy...) 

Saya editor, yang memakai cilok sebagai tameng pencitraan, padahal aslinya hobi makan nasi padang lauk rendang dobel. (Moooooooooooooyyyyyyyyy...!!!)

Tetapi, memang benar. Saya lebih menikmati aktivitas menyunting naskah orang lain ketimbang membuatnya sendiri. Ada kepuasan tersendiri ketika menemukan kejanggalan atau kekurangan dalam naskah. 

Otak saya seolah-olah berpindah setelan, default mencari kesalahan-kesalahan pada naskah, yang tentunya sepaket dengan mempercantiknya. Tenang saja, saya tidak pernah kehilangan kesempatan berimajinasi. 

"Menulis itu susah. Sebab, sebelum menulis, kita harus membaca. Riset, istilah kerennya, untuk memperkaya tulisan kita, sekalipun itu hanya novel."

Malah seringnya jadi diskusi menarik dengan si penulis. Paling tidak, saya membantu si penulis berimajinasi lebih indah lagi. Dan biasanya memang begitu, penulis terpacu untuk membuat adegan yang lebih pas.

Seiring waktu, saya seperti benar-benar kehilangan kemampuan menulis cerpen atau novel. Cerpen terakhir yang saya buat nyaris dua tahun lalu. Itu pun sudah kehilangan rasa dan nyawa. Sementara novel, terakhir kali adalah November 2013. 

Sebenarnya saya sedang mengolah draft lama dan mungkin akan saya luncurkan tahun depan. (Yaelah, Moy, spoiler amat dah!) Kalaupun tiba-tiba saya membagikan tautan sebuah artikel, bisa dipastikan itu 'hanya' tip menulis novel atau cerpen-cerpen lama. 

Bahkan, proses pembuatan artikel tip menulis seringnya ternodai oleh keinginan untuk tampil sempurna. Tulisannya yaaaaa, bukan orangnya ngahahaha... Sebab, seperti saya bilang tadi, otak saya sudah default nyari-nyari kesalahan.

Maka, rasanya tidak salah bila saya katakan bahwa menulis itu susah. Iya, susah, apalagi kalau harus sambil meyakinkan orang lain bahwa kita bisa menulis. Tetapi, saya bisa melakukan hal itu --- meyakinkan orang lain --- saat saya menjadi editor. 

Saya bisa meyakinkan penulis-penulis tak percaya diri bahwa tulisan mereka bagus. Hidung saya biasanya bisa mengendus potensi besar, meskipun pada akhirnya hanya sedikit penulis yang percaya dengan kata-kata saya.

Menulis itu susah. Sebab, sebelum menulis, kita harus membaca. Riset, istilah kerennya, untuk memperkaya tulisan kita, sekalipun itu hanya novel. Rasanya saya sudah sering membahas soal aktivitas riset ini. Silakan ubek-ubek artikel lama saya.

Menulis itu susah. Sebab, seperti saya bilang tadi, kita harus meyakinkan pembaca bahwa karya kita masuk akal. Dari awal pembaca sudah tahu bahwa novel adalah rekaan, meskipun seringkali diambil dari kejadian sungguhan di dunia nyata. 

Misalnya novel bertema kriminal yang bercerita soal penyelundupan/perdagangan manusia. Karakter, setting waktu serta tempat memang fiktif, tetapi jenis kejadian itu nyata adanya. Tugas penulis adalah meyakinkan pembaca bahwa kejahatan itu nyata dan bisa menimpa siapa saja.

Menulis itu susah. Sebab, tidak setiap penulis bisa menggarap segala genre. Akui saja. Sama seperti saya yang tidak bisa menulis artikel politik, apalagi resep masakan karena bisanya cuma makan. (Tumben ngaku, Moy?!) 

Biasanya itu bergantung pada ketertarikan si penulis terhadap salah satu genre. Si penyuka romance tentu akan berburu bacaan serupa, bahkan rela memesan lebih dulu jika penulis favoritnya kebetulan menelurkan karya. Namun, kondisi itu tidak bisa dipukul rata. 

Ada yang sangat menggemari novel bertema konspirasi/kriminal, tetapi selalu menulis fiksi cecintaan dengan level baper yang kebacut. (Ng... elu nggak lagi ngomongin diri sendiri, kan, Moy?!) 

Kalaupun maksa menulis novel bertema konspirasi, paling hebat berakhir di blog pribadinya dengan jumlah pembaca di bawah lima puluh. (Moy, gosah curcol!!!)

Susah atau mudah, semua bergantung pada si penulis sendiri dalam menakar kemampuan menulisnya. Percaya diri itu harus, tetapi tidak berlebihan. Konsultasi dengan pegiat literasi atau diskusi ringan dengan sesama rekan penulis bisa menjadi langkah yang tepat. 

Jika ingin mencoba jenis tulisan baru, tunjukkan dulu kepada first reader kepercayaan kalian sebelum karya itu dipublikasikan. Niscaya kesusahan yang terjadi hanyalah penantian abang cilok yang tak kunjung lewat.

Selamat menulis.
Salam lemper, eh, cilok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun