Mohon tunggu...
Sehat Ihsan Shadiqin
Sehat Ihsan Shadiqin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis Itu Sehat, Sehat Itu Menulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kedaulatan Konsumen, antara Kasus Penolakan Taksi "Online" dan Pemilihan Wakil Rakyat

26 Maret 2016   09:18 Diperbarui: 26 Maret 2016   16:27 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - konsumen (Shutterstock)"][/caption]Demo sopir taksi dan ojek belakangan ini disebabkan oleh beberapa alasan. Dari perspektif sopir taksi dan ojek, mereka demo karena pendapatan mereka sudah berkurang jauh selama adanya taksi dan ojek dengan layanan online. Mereka yang menjadikan sopir sebagai profesi utama merasa ditelikung oleh sopir online yang menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan saja. Para sopir berharap pemerintah menjamin lahan rejeki mereka tidak diganggu oleh orang yang "cari sampingan" yang membuat mereka akan menganggur.

Dari perspektif penguasa jasa transportasi, demo diperlukan untuk menghadang adanya usaha transportasi yang tidak mengantongi izin seperti yang harus mereka miliki dari pemerintah. Transportasi berbasis online tidak perlu uji KIR, tidak perlu pelat kuning, dan sopirnya juga tidak harus pakai SIM khusus sopir transportasi umum. Dengan demikian, mereka memandang ada ketidakadilan dalam usaha ini. Sudah seharusnya pemerintah menindak perusahaan jasa layanan online taksi karena mereka tidak mematuhi aturan negara.

Perspektif Konsumen

Namun di balik kedua alasan di atas, hal ini terjadi karena pilihan konsumen terhadap jasa layanan transportasi tersebut. Dari beberapa berita yang tersebar selama ini, setidaknya ada tiga alasan utama konsumen memilih jasa layanan online. Pertama, kemudahan akses. Dengan hanya menggunakan satu aplikasi, konsumen bisa memanggil taksi dan ojek ke tempat ia berada untuk menjemputnya. Ojek dan taksi akan datang tepat waktu dan tidak melalui proses yang sulit. Hal ini telah menjadi keluhan lama pada jasa taksi biasa. Terkadang kita harus menungu belasan menit untuk sebuah jemputan. Belum lagi ada masalah saat menelpon jasa layanan taksi tersebut yang kadang mendapat jawaban yang tidak menyenangkan. 

Kedua, kepastian harga. Selama ini para sopir taksi biasa seringkali mempermainkan harga. Jumlah yang harus dibayar yang tertera pada argo "dibulatkan ke atas" sehingga jumlah uang yang dibayar konsumen lebih tinggi dari seharusnya. Atau mereka menggunakan jurus "tidak ada kembalian" yang membuat uang beberapa ribuan melayang. Belum lagi ulah sopir yang dengan sengaja masuk ke dalam kemacetan, mengambil jalan jauh, atau sengaja memperlambat laju kendaraan yang membuat harga jadi mahal. Dengan demikian, sering kali harga yang kita bayar untuk jarak yang sama, berbeda pada waktu yang berbeda, meskipun menggunakan jasa taksi dari perusahaan yang sama.

Dan ketiga, masalah kenyamanan. Sopir yang bau rokok (terkadang alkohol), bau badan, penampilan ala kadarnya, membuat konsumen tidak nyaman. Sopir menyetel lagu yang ia sukai dan dengan volume yang menyenangkan dia sendiri. Sering kita harus mengangkat sendiri barang ke dalam bagasi, dan sikap yang kurang ramah. Kondisi ini tentu saja membuat orang tidak nyaman dalam perjalanan.

Konsumen Berdaulat

Menurut saya, apa yang terjadi belakangan ini adalah bentuk kedaulatan konsumen. Artinya, konsumen yang selama ini merasa "terpaksa" harus menerima apa pun keadaan dan konsisi taksi dan ojek, sekarang punya kekuatan untuk memilih dan menentukan apa yang ia senangi. Mereka mulai menyadari kalau mereka adalah "raja" yang punya uang. Taksi dan ojek adalah "pelayan" yang membutuhkan uang mereka. Dengan jalan pikiran ini, sebagai "raja" merekalah yang punya kuasa untuk memilih "pelayan" yang akan melayaninya.

Dalam periode tanpa smartphone, status "raja" mereka tidak dapat dipegang kuat karena belum ada pilihan yang banyak. Jadi apa pun yang terjadi mereka harus terima. Kalaupun abang ojeknya bau badan, bau rokok, konsumen tidak bisa menolak sebab ia perlu sampai ke tujuannya. Demikian juga sopir taksi yang tidak ramah dan urakan, tetap harus "dinikmati" dalam perjalanan karena tidak mungkin menolak.

Nah, saat ini aplikasi taksi dan ojek online memberikan peluang yang lebih baik. Dengan standar yang jelas, penilaian dan pemantauan yang kontinyu, mereka mampu menjawab masalah yang selama ini dikeluhkan konsumen. Oleh sebab itu, konsumen segera beralih ke sana dan meninggalkan moda transportasi model lama yang tidak memuaskan. Apalagi "kepuasan" yang diterima itu menjadi cerita viral di media sosial yang secara tidak langsung mengundang orang lain menggunakan jalan yang sama.

Inilah yang menurut saya sebuah kedaulatan. Berdaulat artinya memiliki kebebasan sendiri dalam menentukan pilihannya dan dalam menggunakan uangnya. Kalau konsumen sudah memilih, lantas siapa yang bisa menghalanginya? Sopir ojek, sopir taksi, pengusaha transportasi, para menteri, dan bahkan presiden pun tidak akan sanggup menghentikan. Para "raja" telah menetapkan sendiri pilihannya, maka harusnya "pelayan" membaca pikiran si "raja" kalau mau tetap dipilih.

Dari Taksi ke Politisi

Akankan kedaulatan konsumen ini akan menjadi "kedaulatan konstituen"? Sepertinya masih perlu kajian yang lebih jauh. Secara teori, konsumen hampir sama dengan konstituen. Mereka sama-sama orang yang akan memilih orang yang akan menjadi pelayannya. Orang yang dipilih tentu saja yang punya kemampuan yang kuat untuk melakukan apa pun demi terwujudnya cita-cita mereka. Dia harus mewujudkannya dengan jalan yang benar tanpa justru merugikan sang konsumen/konstituen. 

Selama ini sering kali wakil atau pemimpin yang dipilih oleh rakyat justru bekerja untuk keinginan dan kebutuhannya sendiri. Seperti halnya para sopir taksi dan ojek yang nakal, banyak politisi yang juga tidak merasa harus melayani rakyat dengan baik. Mereka merasa rakyatlah yang membutuhkan mereka, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, mereka merasa tidak perlu bersusah payah memberikan layanan yang baik untuk rakyat atau apalagi berjuang demi mewujudkan keinginan rakyat.

Berkaca pada peristiwa aplikasi transportasi online, bisa jadi di masa depan politisi akan ditinggalkan oleh rakyat, atau kalau tidak mungkin, politisi akan mendapatkan seleksi yang ketat terkait dengan pelayanan yang diberikan. Selama ini, banyak di antara politisi dipilih karena faktor uang, persaudaraan, dan ketakutan. Semua ini sama sekali tidak peduli pada apa yang kita sebut pelayanan. Meskipun kemudian banyak yang menyesal dengan pilihan yang telah ia lakukan.

Dengan kedaulatan rakyat, maka di masa depan rakyat akan memilih dengan cerdas siapa yang akan memimpinnya. Mereka akan melihat sendiri orang yang benar-benar mampu memberikan dedikasi total sebagai pelayan mereka dan mewujudkan mimpi mereka.

Namun, apakah hal ini akan terjadi dalam waktu dekat? Saya masih ragu. Sebab berbeda dengan konsumen pada kasus taksi online, masyarakat yang menjadi konstituen dalam pemilihan tidak semuanya berasal dari komunitas yang benar-benar telah berdaulat dengan diri dan uangnya. Kebanyakan mereka masih terkait dengan ikatan-ikatan primordial yang tidak bisa dilepaskan, seperti SARA, ekonomi, keluarga, dan lain sebagainya. Namun, tanpa kemampuan memutuskan ikatan itu, maka konstituen selamanya tidak bisa menjadi konsumen yang berdaulat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun