Mohon tunggu...
Muhammad Wahdini
Muhammad Wahdini Mohon Tunggu... Buruh - pembelajar

.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Abah dan Sujud Unta

23 Februari 2014   18:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah tiga hari ini abah tak banyak bicara, ia terlihat sibuk membuka sebuah kitab lalu menutupnya kembali, aku lihat kegusaran dalam wajahnya. Biasanya, selepas maghrib ia memanggilku, "Nak, coba perhatikan hapalan abah" pintanya. Ia menghapal lima sampai sepuluh ayat di beberapa surat, ayat itu nantinya jadi materi dakwah di masjid dekat rumah. Abah memang bukan ustadz tetap, namun jika ustadz yang diundang tak datang, abah yang menggantinya. Aku memperhatikan dan mengoreksi jika ada tajwid yang kurang benar, ia pun mengulang dan memperbaiki hafalannya.

Alqur'an ditanganku ini umurnya lebih dari 10 tahun, beberapa minggu yang lalu aku belikan yang baru dengan tulisan arab yg lebih besar dan panduan tajwid pada ayat agar abah mudah membacanya tapi ia menolak halus "Quran itu buatmu saja, abah pakai yang ini saja, ya" sembari mencium kitab yang sudah covernya terkelupas itu, aku mafhum. Untuk ayat yang sudah dihafal, abah menandainya dengan kertas berwarna yang keluar dari sisi kitab, agar mudah dicari jika ingin dibaca lagi nantinya.

Tapi belakangan abah tak lagi membuka kitab itu, ia kini sibuk dengan kitab yang baru, katanya hadiah pemberian dari seorang ustadz dari Jakarta yang ceramah di masjid dekat rumah seminggu yang lalu. Ketika kutanya buku apa, abah hanya bilang "nanti abah kasih tahu" katanya datar. Terdengar suara telepon berdering dari ruang tamu, yang menelpon adalah paman, adik ibu yang tinggal di jakarta. Ia mengajak kami sekeluarga berlibur ke sana skalian silaturrahim, sudah sekira 5 tahun paman sekeluarga tak pernah bertemu kami. Biasanya abah tak pernah mau ikut, apalagi harus keluar kota sampai semingguan, katanya, nanti masjid tidak ada yang urus saat jumatan. Tapi kali ini abah nampak bersemangat, ia menyiapkan sendiri pakaian yg akan dibawa, tapi tidak ada satupun kitab yang dibawa, agak aneh memang tapi kami senang karena abah mau ikut serta, mungkin ini perjalanan kami ketiga utuh sekeluarga ke luar kota, dua sebelumnya karena abah pindah tugas kerja.

Setibanya di jakarta kami mulai merencanakan mau kemana saja, dari ke museum, wahana permainan hingga ke pantai. Aku dan kedua adikku ingin ke wahana permainan di utara jakarta, maklum saja di kota kami tidak ada tempat permainan yang bagus, sempat ada tempat permainan tapi tutup setelah enam bulan berjalan, katanya karena mahal biaya perawatan. Ibuku ikut saja kemana kami pergi. "Abah mau kemana nih?" Tanyaku penasaran. "Abah mau ke kebun binatang" jawabnya mantap.

Aku tau, pasti abah mau lihat burung kicau disana, karena ia memang suka memelihara burung walau tak jarang banyak yang ia lepaskan kembali.sudah bosan katanya. Kebun binatang jadi destinasi hari terakhir karena lokasinya yang lumayan jauh dari rumah paman.abah memilih tidak ikut kami ke wahana permainan, aku paham, ia tak boleh capek, tenaganya disimpan untuk ke muter-muter kebun binatang. Saat itu pun tiba, pagi hari sekali abah sudah didepan rumah, seperti tidak sabar untuk lekas berangkat. Perjalanan ke kebun binatang memakan waktu sekira 5 jam, semakin pagi berangkat maka semakin banyak yang bisa dikunjungi. Di perjalanan abah tak banyak bicara namun raut wajahnya nampak cerah dan segar, sesekali aku lihat ia mengeluarkan secarik kertas, melihat sebentar lalu dimasukkan kembali ke sakunya. Entah apa isinya.

Tepat jam 12 siang kami sampai di gerbang depan, syukurlah tidak terlalu banyak pengunjung dan cuaca tidak terlalu terik. Kami bergegas masuk dan mulai melihat denah yang terpampang di sisi kanan kebun binatang. Kulihat abah melihat seksama denah itu dan telunjuknya mulai bergerak, kepalanya lalu dianggukkan seakan sudah tahu ke arah mana ia akan berjalan. Kulihat ibu menemani kedua adikku ke wahana atraksi binatang, aku juga ingin kesana tapi abah memintaku untuk menemaninya. Ia menggenggam tanganku dan berjalan cepat, seperti ada yang tak ingin ia lewatkan di depan sana.aku melewati kandang harimau, ingin sekali melihat tapi abah tak sedikitpun menengok, pandangannya lurus ke depan sembari sesekali melihat penunjuk arah di tiap persimpangan. Sekira delapan menit berjalan, abah tersenyum, sepertinya ia menemukan apa yang selama ini ia cari, aku mulai melihat sekeliling, tak ada yang istimewa bagiku, hanya ada area besar berpagar dan empat ekor unta. Iya, unta, Hewan gurun pasir yang kuat tidak makan dan minum selama beberapa hari. Menurutku ia hewan yang istimewa, ia tidak cepat, gesit dan lincah, tak seperti cheetah.

Abah nampak serius melihat hewan berpunuk itu, seekor onta mendekat, mengendus, seperti ingin meminta makanan dari pengunjung, sedangkan yang lain hanya duduk berjemur di bawah terik matahari, dan aku, hanya melihat abah dengan wajah cemberut. Abah mengamati setiap gerak onta, terutama saat hewan mamalia itu melipat kakinya untuk duduk dan bangun berdiri. Setelah sekira 15 menit, abah menatapku sambil tersenyum "Sekarang kamu mau lihat binatang apa, nak? Ayuk, abah temenin" tanya abah. Kekesalanku sirna, abah menemaniku berkeliling kebun binatang hingga sore tiba, bahagia, walau masih ada pertanyaan, apa istimewanya hewan onta bagi abah?

Dua hari sekembalinya kami dari Jakarta, ibu memanggilku. "Nak, coba lihat, ini apa ya? Ibu temukan di kantong celana abah" Sambil memberikan secarik kertas. Aku mengamati kertas lusuh itu. Ada beberapa tulisan yang tak jelas meski sebagian masih terbaca. Tertulis,

Dari Abu hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ، وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Apabila kalian sujud, jangan turun seperti turunnya onta. Hendaknya dia letakkan tangannya sebelum lututnya.

Tanganku bergetar, dadaku berguncang, air mata tak kuasa kubendung, ibu menatapku dengan tatapan heran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun