Mohon tunggu...
Sebastianus KiaSuban
Sebastianus KiaSuban Mohon Tunggu... Penulis - ASN

ASN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Bapak Paulus, Oleh-oleh yang Sungguh Tak Ternilai Harganya Bagiku Selamanya

12 Juli 2019   21:24 Diperbarui: 12 Juli 2019   21:54 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat berpergian, dimanapun, kapanpun, selalu saja oleh-oleh adalah sesuatu yang sangat dinanti-nantikan didalamnya. Oleh-oleh sepertinya tak pernah lepas dan hampir pasti disimpulkan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah perjalanan itu sendiri. Begitupun dengan perjalanan dinasku yang kesekian kalinya ini, dari Larantuka Flores ke Pulau Adonara, tepatnya di Desa Nubalema, Kecamatan Adonara Tengah Kabupaten Flores Timur.

Oleh -- oleh dari perjalananku yang satu ini, beda dengan oleh - oleh yang lasim dibawa dari sebuah perjalanan pada umumnya. Bukanlah barang seperti cinderamata, ataupun kuliner yang jadi favorit milik tempat destinasi perjalanan saya, melainkan sebuah cerita milik seorang petani/pembudiaya ikan dari desa yang saya daulat sebagai oleh-olehnya.

Dari ceritanya, saya bisa dilupakan oleh keistimewaan yang muncul dari cita rasa akan sebuah oleh --oleh berupa barang, dan segera terganti dengan narasi kaya makna akan sebuah cita -- cita hidup. Sosok petani itu yaitu Bapak Paulus.

Nama lengkapnya adalah Paulus Ola, dan kesehariannya disapa sebagai Paulus. Beliau juga merupakan Ketua Kelompok dari Kelompok Kesen, yang membudiayakan ikan air tawar di desanya. Kelompok ini adalah kelompok binaan dari Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur.

Siang itu, di balai Desa Nubalema,  kami bertemu. Pertemuan yang patutnya disyukuri, karena kebetulan hari ini beliau datang ke kantor desa untuk melakukan perekaman data untuk pembuatan kartu tanda penduduk/KTP elektronik.

Bapak Paulus mulai berceritra tentang perjalan hidupnya selaku seorang petani Desa. Hari- harinya ia lebih banyak berada di kebun, tinggal di sana, walau ia punya rumah di kampung atau desanya.

"Di sana ada kebun,  saya tanam sayur-sayuran, piara hewan, babi juga kambing. Di tepi kali saya buat kolam ikan dari semen, untuk piara ikan. Kebetulan dulu saya pernah merantau ke Sabah, Malasya, dan di sana saya pernah kerja piara ikan, jadi saya sudah tahu bagaimana budidaya ikan sebanarnya. Saya juga iris tuak, dari kelapa, setiap pagi dan sore. Sesekali waktu baru saya pulang ke rumah, semalam atau dua malam di sana lalu kembali ke kebun, karena memang hidup saya ada di sana. Semua ini kira -- kira sudah 28 tahun saya jalani", jelasnya semangat sembari tersenyum tipis.

Setelah ia selesai berkata, saya hanya tertegun, dalam hati saya membatin, terkagum --kagum mendengar pengakuan beliau. Bagiku, 28 tahun bukan waktu yang pendek. Benar-benar cinta terhadap pilihan hidupnya sebagai seorang petani dan pembudidaya di desa.

Lalu ia melanjutkan, " saya bisa menafkahi kebutuhan keluarga dengan pekerjaan ini. Saya jual sayur-sayuran, kelapa, kopi, ikan-ikan peliharaan, jual tuak, dan ternak untuk biaya hidup keluarga. Semuanya datang dari sini. Dan yang buat saya bertahan karena saya bahagia dengan semua ini. Saya merasa mendapat kebahagian yang sesungguhnya, tak bisa diukur dengan materi. Nah, sekarang, saya hanya ingin membagi apa yang saya ketahui tentang pekerjaan saya kepada orang lain. Ini keinginan saya sekarang, biar orang lain juga bisa merasa bahagia sepeti yang saya alami", pungkasnya mengakhiri ceritanya dan serentak meneguk kopi dari atas meja yang terletak di bagian tengah diantara saya dia dan Pak Anwar, sekretaris Desa Nubalema.

Diskusi itupun selesai dengan kesimpulan yang tak dibacakan karena meresap dalam hati dan pikiran kami masing -- masing. Wajah Bapak Paulus hadir dalam lamunanku, terngiang lagi kata -- katanya di telinga ini. Lalu aku bertanya pada diri ini, pertanyaan yang selalu ada dalam ruang diskusi dan seminar tentang arti sebuah pemberdayaan masyarakat di desa, seperti apakah bentuknya?

Pada wajah yang sama, wajah bapak Paulus dan kata -- katanya memberiku jawaban akan hal itu. Ini lebih dari sekedar sebuah oleh -- oleh, karena ternyata dari pesanmu sunguh berguna buat diriku dan juga generasiku kini dan juga masa depan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun