Mohon tunggu...
Asyana Eka Putri
Asyana Eka Putri Mohon Tunggu... Lainnya - scholasticaasyana@gmail.com

I analyze data and give strategic insights to help business entities grow and make huge impact. Passionate about inclusive technology for greater good.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengubah Haluan tanpa Mengubah Tujuan

21 Oktober 2017   02:13 Diperbarui: 21 Oktober 2017   03:01 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Ketika duduk di bangku TK kecil, saya kerap mendengar berita-berita mengenai demonstrasi atau bahkan melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Maklum, di Kota Yogyakarta ada banyak sekali mahasiswa dan tak jarang mereka mengadakan aksi di tempat-tempat publik. Melihat semuanya dengan terkesima, saya mulaiberanggapan bahwa kakak-kakak yang berteriak lantang-lantang di tepi jalan itu adalah orang-orang pemberani. Hingga suatu hari di kelas TK, Ibu Guru Atiek bertanya, "Apa cita-cita kalian kalau sudah besar?", saya mengacungkan jari tinggi-tinggi dan berkata, "Mau jadi mahasiswa, Bu! Biar bisa demo!"

Sedari kecil, saya ditulari oleh Ibu kegemaran memadupadankan aksesoris dan pakaian. Awalnya hanya sebatas pakaian boneka, lama-kelamaan saya sendiri yang jadi model berjalannya. Ke sekolah semasa SD, pasti selalu pakai hiasan rambut atau kalung dan gelang yang saya ronce sendiri dari manik-manik. Kala itu saya tahu, saya ingin jadi seorang desainer ketika dewasa nanti.

Di bangku SMP, saya mulai mempelajari kewirausahaan secara otodidak. Mempelajari bahan baku, proses produksi, pemasaran, hingga berkomunikasi langsung dengan pemasok maupun pembeli. Penghargaan demi penghargaan saya raih, tawaran wawancara silih berganti berdatangan, mungkin karena usia saya ketika itu tergolong muda dan agak sulit menemukan anak muda yang berkecimpung dengan kain-kain jaman dulu yang mulai pudar termakan jaman. Merasa bahwa semua itu adalah passion saya, saya mulai mengira bahwa untuk seterusnya, saya ingin jadi pengusaha.

Menginjakkan kaki di SMA, saya mulai bertemu dengan kawan-kawan baik yang berpemikiran luas dan membukakan mata saya akan hal-hal baru. Kala itu juga saya mendapat kesempatan untuk mengikuti pemilihan umum, pertama kalinya. Rasa bangga menjadi warga negara Indonesia sangatlah membuncah, bahkan debat kusir mengenai patriotisme sekalipun saya ladeni. Saya juga mulai mendengar banyak tentang isu-isu kesetaraan gender dan feminisme, hingga saya berani untuk memutuskan ingin menjadi politikus demi membantu tegaknya keadilan sosial di Indonesia.

Masa demi masa berlalu, hingga kini tiba saya duduk di depan layar komputer kecil, sibuk merangkai kata-kata untukmu yang sedang membaca tulisan ini. Saya ada di dalam sebuah studio mini, berukuran tak lebih dari empatbelas meter persegi, mengenakan daster di tengah-tengah suhu tigabelas derajat celcius yang kini tak terasa begitu menusuk lagi bagi kulit saya. Siapa nyana, bulan lalu saya kembali ke Indonesia mengikuti karantina nasional, setelah setahun lalu dengan percaya dirinya berujar, "Pantang kembali sebelum lulus"? 

Siapa nyana, tahun lalu saya memutuskan untuk merantau ke Prancis, setelah tahun-tahun sebelumnya sudah mantap ingin meneruskan studi di sebuah perguruan tinggi negeri di Indonesia? Siapa nyana, lima tahun lalu, saya diterima masuk di sebuah SMA yang bahkan mendengar namanya pun saya jarang, apalagi membayangkan menjadi bagian dari almamaternya? Siapa nyana, enam tahun lalu, saya diajak masuk ke dunia bisnis oleh Ibu berkat kain-kain nenek buyut yang tergeletak di dalam lemari, dan bisnis itu yang berhasil membawa saya keliling dunia? Siapa nyana?

Satu hal yang saya petik dari hidup saya sendiri adalah hidup ini dinamis.

Sangat dinamis, sangat fluktuatif, dan... sangat menyenangkan.

Penuh rahasia, penuh kejutan, dan... penuh petualangan.

Dulu saya mudah mencela ketika ada orang yang mudah sekali berubah-ubah cita-citanya. Ada juga yang ketika ditanya ingin jadi apa, dia menjawab tidak tahu, sementara saya sedari kecil sudah tahu ingin menjadi apa ketika dewasa nanti. Saya mudah mencela, menganggap orang-orang yang demikian itu tak memiliki gambaran yang jelas akan masa depan. Mungkin saya benar. Namun mungkin juga saya keliru.

Tak ada standar yang pasti mengenai hidup kita maupun hidup orang lain.
Tidak ada yang mengharuskan kita untuk begini, atau mengharuskan dia untuk begitu.
Tujuh miliar orang, tujuh miliar jiwa, tujuh miliar mimpi yang berbeda.
Haruskah menjadi sama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun