Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Jokowi Sudah Tidak Punya Beban Apa-apa?

16 September 2019   14:49 Diperbarui: 16 September 2019   14:57 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oligarki oportunis yang sudah lama menguasai indonesia sejak rezim Soeharto. Oligarki di Indonesia merupakan penumpukan kekuasaan  pada sedikit orang yang dengan kekuasaanya itu, mengendalikan seluruh kehidupan rakyat Indonesia. Oligarki bekerja dalam jaringan relasi antara pemilik modal, partai politik dan pemerintah membentuk golongan elit-elit secara berlapis. 

Oligarki timbul dan tumbuh subur pada ekosisitem kapitalisme liberal di mana mayoritas rakyat hidup dalam kesenjangan kemiskinan  dan kesadaran berpikir rendah (kebodohan). Oligarki memanfaatkan sistem demokrasi  'satu orang satu suara' merebut  kekuasaan politik. Profil partai-partai politik Indonesia tanpa ideologi sangat cair berbagi kekuasaan adalah gambaran kongkrit wujud  elemen politik oligarki. 

Elemen pemilik modalnya dapat ditelusuri dari cara dan hasil kerja pemerintahan yang memberi kesempatan  persekutuan korupsi  atau penghisapan kekayaan alam.   Satu kelompok oligarki yang hanya beberapa orang dapat menguasai seluruh  rakyat pada suatu masa, seperti  era SBY, dan kini era Jokowi. 

Oligarki memanfaatkan ekosistem kehidupan dan demokrasi Indonesia untuk menciptakan seseorang menjadi tokoh populis dan idola, seperti SBY dan Jokowi. Oligarki juga menciptakan pengaturan-pengaturan sistem demokrasi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya dan agama, yang secara keseluruhan menjadi sistem besar mendukung eksisitensi oligarki. 

Dengan sistemnya tersebut, oligarki dapat mengendalikan semua orang dalam kelompok oligarkinya dengan bagi-bagi  kekuasaan. Sementara  rakyat yang sebagian besar masih terbelenggu kemisiskinan, disenangkan diberikan  remeh-remeh kedermawanan melalui cara-cara kerja  birokrasi.  

Terkait masalah KPK, Presiden Jokowi sebagai tokoh populis yang dipromosikan oleh oligarki akan teraktulaisasi dengan dengan cara ganda; Pertama, dalam jati dirinya Jokowi tidak memiliki visi misi pemberantasan korupsi. Kedua, seandainya pun ada visi misi, meskipun sebagai Presiden, beliau tidak kuasa melakanakannya, karena kekuatan oligarki diluar kuasanya akan melawannya.  Kedua cara tersebut berkerja sekaligus, sehingga siapapun Presiden, sejak awal sudah disandera oleh oligarki.

Contoh kekuasaan yang  ditumbangkan oligarki adalah Presiden Gus Dur,  ketika berkuasa diawal reformasi tahun 1999, Gus Dur memiliki visi misi dari jati dirinya, terlepas apakah itu baik atau buruk, tetapi karena jati dirinya tidak sejalan dan sulit diatur oleh kekuasaan oligarki arus utama, maka kekuasannya sebagai Presiden dihentikan melalui Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001..

Karena saat ini hampir semua politisi, penyelenggara negara, pemilik modal dalam jaringan oligarki kekuasaan telah tersandera kepentingan dan korupsi, persoalannya siapa yang mau menjeratnya.  KPK dalam perjalanannya sejak 2002, selalu hendak dikendalikan dan dikuasai  oligarki, oleh sebab itu dipandang perlu dirombak pada momen yang tepat, saat ini. KPK bukan dibunuh untuk lenyap.  

Dengan tetap memelihara KPK yang terkendali, oligarki dapat memanfaatkannya. Pertama, memiliki kekuasaan menjerat  musuh-musuh politiknya sesama oligarki, ataupun pembangkang lainnya. Kedua, memiliki kekuasaan melindungi/mengamankan anggota oligarki. Ketiga, citra positif KPK berusaha dipertahankan,untuk dimanfaatkan sebagai promosi citra pemberantasan korupsi.

Banyaknya  masyarakat  awam menyatakan pendukung revisi UU pelemahan KPK yang sesngguhnya belum tentu memahami persoalan politik hukum,  menggambarkan popularitas Jokowi dimanfaatkan untuk membela pelumpuhan KPK. Bahkan, politisi partai politik di DPR sedikit-banyaknya  terpengaruh lebih berani berinisiatif merevisi UU KPK yang tidak populer, karena memperhitungkan dukungan popularitas Jokowi.

Kisruh penentuan nasib KPK sekarang ini sesungguhnya berakar persoalan  pada eksisitensi kekuasaan oligarki  oportunis.  Sepanjang kesadaran berpolitik Rakyat masih dapat  diperdaya  rezim politik oligarki oportunis, maka semua persoalan korupsi hanya dijadikan  polemik tak bermakna. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun