Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Akar Masalahnya Bukan di Papua, tapi di Jakarta

19 Agustus 2019   18:59 Diperbarui: 20 Agustus 2019   17:53 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bangka.tribunnews.com

Gejolak Papua  akan selalu menjadi masalah bagi setiap Presiden RI,  karena akar persoalan sesungguhnya bukan di Papua, ada di Jakarta, yaitu kekuasaan politik oportunis mencederai  tujuan berbangsa. 

Pada momen peringatan  proklamasi Republik Indonesia yang ke-74 ini, terjadi peristiwa luka bagi NKRI, ketika mahasiswa dari Papua merasa dipersekusi rasial di Surabaya, Malang, dan Semarang.  Kejadian itu memicu pecahnya demonstrasi di Manokwari, Papua Barat, dan Jayapura hari ini,  Senin, 19 Agustus 2019.

Terlepas dari bagaimana fakta kejadiannya sesungguhnya, dihubungkan dengan berbagai rangkaian peristiwa terbunuhnya beberapa anggota TNI dan Polri oleh gerakan separatis di Papua akhir- akhir ini, mengingatkan kita bahwa ada persoalan bangsa ini tentang Papua  yang belum selesai.

Sekilas balik sejarah, persoalan Papua sudah ada sejak Republik ini lahir di tahun 1945, Konferensi Meja Bundar 1949 manyatakan penyerahan kedaulatan atas seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia kecuali Irian Barat (kini Papua). 

Sejak itu masing-masing negara saling mengklaim Papua sebagai wilayahnya. Belanda merencanakan mengembangkan Papua seperti Inggris menggarap Australia.  

Pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat, Belanda tidak mengakuinya. Perang tak dapat dihindari,  tanggal 19 Desember 1961, Soekarno mencanangkan operasi Pembebasan Irian Barat dengan sandi operasi Trikora.

Amerika Serikat mekhawatirkan perang perebutan Papua melemahkan aliansinya melawan komunis, mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia, maka tercapailah New York Agreement pada tanggal 15 Agustus 1962, yang menyepakati  Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) untuk kemudian akan menyerahkannya kepada Indonesia. 

Dengan bantuan PBB, diberi kesempatan bagi penduduk Papua bagian barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada tahun 1969, disaksikan PBB. Hasilnya, Papua bergabung dengan Indonesia. Organisasi Papua Merdeka, tidak terima. Sejak itu bara konflik tak pernah padam di Papua, hingga hari ini.

Berbagai pendekatan telah dilakukan Pemerintah untuk meredam konflik di Papua. Pada era rezim Soeharto, pendekatan militer lebih diutamakan. 

Pada pemerintahan Gus Dur, pendekatan kemanusiaan dengan memberikan kebebasan berekspresi pada masyarakat Papua dan pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Otsus Papua) Tahun 2001.

Dari berbagai cara yang telah dilakukan Pemerintah, tampaknya tidak pernah mampu mengatasi persoalan Papua secara utuh dan permanen. 

Sepanjang masa, secara sporadis timbul gejolak, meskipun sesaat kelihatan padam, tetapi tetap menyimpan bara yang kemudian menjadi api konflik. Lalu menjadi timbul pertanyaan, dimanakah akar maslahanya?

Dari berbagai kegagalan yang dilakukan Pemerintah, karena cara pandang berbeda, cenderung menganggap bahwa persoalannya pada masyarakat Papua. Akan tetapi bila kita kaji lebih mendalam,  sesungguhnya persoalanya bukan di masyarakat Papua, tetapi masalahnya di  tata kelola pemerintahan Republik ini, yakni memaknai hakekat tujuan berbangsa.

Sebagaimana digariskan dalam konstitusi, tujuan kita berbangsa adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan ini, hingga hari ini, masih jauh dari harapan, bukan hanya bagi masyarakat Papua  tapi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejak  Papua berintegrasi dengan Indonesia tahun 1969, Pemerintahan selalu dikuasai rezim oportunis dimana politisi busuk berkolaborasi dengan pengusaha licik menghisap kekayaan alam dan  rakyat Indonesia, termasuk Papua yang kaya. 

Wabah korupsi  dari era Soeharto hingga hari ini tidak bisa dihentikan adalah salah satu bukti wujudnya. Efek dari penyakit korupsi ini menjalar ke pembusukan-pembusukan sendi-sendi kehidupan berbangsa.

Akibatnya timbul ketidak percayaan rakyat kepada rezim Pemerintah, siapapun rezimnya, untuk mengantarkan ke tujuan berbangsa. Meskipun penderitaan akibat korupsi ini bukan hanya Rakyat Papua, tetapi karena sejarahnya, sebagian masyarakat Papua mempertanyakan apa maknanya menyatu dalam NKRI.  Kesadaran inilah mempersubur separatisme, bukan hanya di Papua, termasuk Aceh dan radikalisme agama.

Seiring dengan kemajuan kesadaran berpikir masyarakat Papua, maka semakin banyak tokoh-tokoh pergerakan Papua Merdeka dengan mudah memanfaatkan isu sentiman kedaerahan untuk menggalang kekuatan melawan integrasi. Faktanya, tokoh-tokoh ini berhasil mendapatkan perhatian di diplomasi internasional. 

Bila gerakan diplomasi internasional semakin kuat dan bersenergi dengan gerakan bersenjata di pegunungan Papua, maka konflik di Papua akan mengancam NKRI. Tampaknya arah menuju kesitu semakin jelas.

Pemerintahan Presiden Jokowi lima tahun kedepan hendaknya serius menyadari akar masalahnya bukan di Papua, melainkan di tata kelola Pemerintahan itu sendiri. Bara api kecil konflik Papua yang tampaknya sporadis muncul, bila tidak di padamkan diakarnya, pada saatnya akan berkobar menyala, mungkin tidak di era pemerintahan Jokowi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun