Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jokowi: Saya Sudah Tidak Memiliki Beban Apa-apa

17 Juni 2019   06:27 Diperbarui: 11 Agustus 2019   11:59 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyebut dirinya akan bekerja lebih maksimal dalam periode kedua pemerintahnya, seandainya ditetapkan menjadi presiden terpilih pemilihan presiden 2019. Toh, ujar Jokowi, dirinya tak lagi memiliki beban dalam lima tahun ke depan. Ini karena ia tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai presiden. 

"Keputusan-keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini, akan kita kerjakan. Sekali lagi, karena saya sudah tidak memiliki beban apa-apa," ujar Jokowi dalam acara Halal Bihalal bersama aktivis 98 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta pada Ahad, 16 Juni 2019 (Tempo.co, 16/6/2019).

 Ucapan Presiden Jokowi bahwa beliau sudah tidak memiliki beban apa-apa, sudah beberapa kali diucapkannya di berbagai kesempatan sehingga patut menjadi perhatian. Bila memang ucapan tersebut sungguh-sungguh dari lubuk hati paling dalam Jokowi, sudah sepantasnya seluruh rakyat Indonesia bersyukur, atau paling tidak membanggakan bagi seluruh rakyat yang telah memilihnya pada Pilpres 2019. Karena kita tidak bisa mengetahui isi lubuk hati paling dalam Jokowi, maka kita hanya bisa menilai dari tanda-tanda  kebijakan yang akan dilakukan Presiden selama kepemimpinannya.  Paling tidaknya, tanda-tanda diawal pemerintahannya akan kelihatan. Bagaimana kita melihat tanda-tandanya?

Langkah pertama Presiden yang menjadi perhatian rakyat adalah penetapan kabinet, siapa-siapa Menteri yang akan duduk di kabinet. Meskipun penentuan Menteri adalah hak prerogatif Presiden,  namun tak dapat dipungkiri, Presiden tidak benar-benar bebas menentukan, karena ada kompromi-kompromi politik dengan partai koalisi pendukungnya. 

Koalisi lazimnya ada pada sistem pemerintahan  parlementer, namun di Indonesia, sejak proses pemilihan sudah tercipta koalisi pengusung Capres karena parpol atau gabungan parpol harus mempunya minimal 20 persen kursi DPR untuk dapat mencalonkan Presiden. Biasanya komposisi partai koalisi saat Pilpres sama dengan koalisi saat memerintah. Dalam pemilihan Menteri, Presiden bisa memberikan kriteria dan spesifikasi orang yang dibutuhkannya, tapi jumlah Menteri dari setiap partai pendukung harus dibicarakan, agar tidak ada yang berkecil hati. 

Setelah jumlah orang disepakati, kemudian nama-nama calon  Menteri diajukan Pimpinan Partai kepada Presiden. Presiden akan menilai kreteria dan  spesifikasi  dari orang yang diajukan,  merencanakan pos mana yang sesuai dengannya. Ada kemungkinan komposisi orang dan pos yang akan ditempati tidak pas atau belum cocok menurut Presiden, maka Presiden akan meminta nama lain kepada partai pendukung. Setelah semuanya pas, maka pada waktunya akan ditetapkan dan diumumkan kepada Rakyat.

Apakah dari susunan kabinet kita dapat menilai ucapan Jokowi diatas?  Tidak, karena sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial. Menteri adalah pembantu Presiden belaka, menteri masuk ke  pemerintahan tidak membawa visi misi, yang ada adalah visi misi Presiden. Keliru menilai harapan kinerja Presiden dari susunan kabinet sebelum kabinet tersebut bekerja. 

Penilaian kapasitas, kapabilitas, dan integritas dari nama-nama Menteri yang diangkat  masih praduga. Tanda-tandanya baru ketahuan paling cepat tiga bulan setelah menjabat, karena tiga bulan pertama Menteri belajar dan berorientasi di Kementerian untuk melaksanakan visi misi Presiden. Besar kemungkinan Presiden akan mereshuffle kabinet setelah enam bulan pertama. Tanda-tanda kebenaran ucapan Jokowi tersebut kaitannya dengan susunan kabinet baru dapat diketahui  setelah enam bulan pertama pemerintahan. Kalau menteri yang kinerjanya tidak sesuai harapan rakyat ternyata tidak diganti, berarti ada beban Presiden tetap mempetahankannya.

Semestinya sejak awal dapat diperkirakan kemana arah kebijakan  Pemerintah melalui visi misi yang disampaikannya saat kampanye Pilpres. Tapi di Indonesia, visi misi presiden saat kampanye hanya formalitas belaka, tidak dapat dijadikan pegangan. Lebih realistis adalah dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), zaman Soeharto namanya Repelita, yang ditetapkan setelah Presiden mulai bekerja. 

Dalam dokumen RPJM tergambar seluruh rencana kerja Pemerintah selama lima tahun. Tapi masalahnya, RPJM selama ini juga hanya formalitas belaka yang disusun rutinitas birokrat, tidak menggambarkan strategi sesungguhnya dari Presiden, tidak seperti yang dilakukan Presiden Amerika Serikat misalnya. Bila RPJM dirancang dengan baik, maka dapat digunakan untuk menilai kinerja Pemerintahan.

Tapi Rakyat tidak akan membaca RPJM, sebagian tidak percaya sebagian lagi tidak perduli. Rakyat lebih percaya pada apa yang dialaminya sehari-hari. Oleh sebab itu, indikator-indikator kinerja Pemerintah yang lebih dipercaya Rakyat adalah pertumbuhan ekonomi,  penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pelayanan publik, dan keamanan ketertipan umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun