Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia, Awas Radikalisme!

8 Juni 2019   16:58 Diperbarui: 10 Agustus 2019   17:55 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: nusantara.news

Sebagian rakyat merasa , makmur sejahtera, aman dan sentosa masih jauh dari harapan.  Sebagian sisanya mengangap keadaan ini bagian dari sudah nasibnya.  Dengan demikian, demokrasi gagal  melahirkan kepemimpinan nasional untuk mewujudkan tujuan hidup berbangsa dan bernegara sebgaimana diharapkan. Mengapa demikian,  bukankah konstitusinya sudah bagus dan  demokrasinya sudah betul?  Benar, konstitusinya sudah tepat dan demokrasinya tidak salah. Berarti ada sesuatu yang lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak pas atau salah.

Pertanyaan diatas'lah yang dijawab oleh paham Islam khilafah  dengan cerdas dan meyakinkan, bahwa  sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik dan benar adalah seperti paham mereka. Paham ini menjanjikan kehidupan yang lebih baik, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. Sangat masuk akal, meyakinkan, dan dapat dipercaya. Keyakinan dan harapan yang dijanjikan akan sangat mudah menjangkiti  pada kesadaran dan pikiran rakyat  suatu negara yang terbelenggu dalam kemiskinan. Banyak contoh negara mengalaminya.

Saat ini,  banyak rakyat yang kesadaran dan pikirannya  sudah tersusupi paham ini.  Hampir semua komponen bangsa telah dirasuki, mulai rakyat jelata, mahasisiwa, birokrat, legislatif, politisi, guru, dosen, bahkan polisi. Terlebih lebih pemuda dan mahasiwa, yang dalam proses mencari jati-diri,  sangat mudah dipengaruhi. Terbukti banyak kampus-kampus menjadi lembaga pengkaderan paham radikal. Mahasiswa menjadi strategis, selain menjadi kader dan agen perubahan paham di masyarakat, pada saatnya menjadi pemimpin-pemimpin yang berkuasa.  Satu-satunya kelembagaan yang belum dapat disentuh adalah TNI.

Sejarah mencatat bahwa dengan kepemimpinan yang kuat dan otoriter,  suatu ideologi atau paham dapat ditumpas habis hingga ke akar-akarnya, contohnya ideologi Komunis di Indonesia.  Di Indonesia, paham Islam radikal  lebih sulit membrantasnya. Buktinya sejak zaman Soekarno hingga Soeharto,  paham ini telah ditumpas , tapi tidak pernah habis sampai akar-akarnya. Tidak sama dengan ideologi komunis yang cara kerjanya tidak biasa dilakukan rakyat Indonesia,  sehingga mudah dideteksi warna kegiatannya, orang-orangnya, sekalipun akarnya dibawah tanah, tidak ada tempatnya bersembunyi.

Proses doktrinisasi  dan penyebaran paham Islam radikal  secara halus bersembunyi pada Islam yang merupakan penganut agama terbesar di Indonesia. Deteksi gejala-gejala orang yang dipengaruhinya juga sangat sulit, karena melalui proses pengkaderan halus,  berlahan-lahan, dan  bertahap, sehingga diangap itu masih kewajaran dan biasa saja. Hingga pada saatnya menjadi militan dan tidak dapat dipulihkan.

Semua kalangan,  sebagian  rakyat jelata,  peyelenggara negara,   maupun TNI, sudah menyadari persoalan ini. Beberapa langkah pencegahan dan antisipasi sudah dilakukan. Sejauh mana efektifitasnya?

Pembubaran secara formal sebuah organissasi, katakanlah seperti  Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) misalnya, hanya menghambat kegiatan terbuka dari organisasi tersebut, tetapi organisasi lain dengan nama berbeda dapat saja diboncengi. Lagi pula intinya bukan pada formal organisasi,  tetapi bagaimana penyebaran paham melalui proses manipulasi kesadaran dan pikiran manusia Indonesia dapat dicapai secara sistematis, terstruktur dan masif.

Penguatan wawasan kebangsaan dan pemahaman Pancasila oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang dibentuk pemerintah mirip -untuk tidak mengatakan hanya tukar baju- dari Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7)  pada zaman Seoharto. Upaya tersebut akan kehilangan makna ketika Penyelenggara Pemerintahan tidak dapat menunjukkan bukti nyata usaha menggapai tujuan dan cita-cita hidup berbangsa. Dan juga, daya paksa penerapan nilai-nila Pancasila  belum tentu sekuat era Seoharto, sekarang tantangan lebih berat.

Benteng terakhir sesunguhnya TNI, tapi kini doktrin TNI tidak lagi memungkinkan langsung masuk kedalam pengendalian masyarakat sipil seperti era Soeharto. TNI hanya akan turun ketika penegakan hukum oleh Kepolisian  tidak mampu lagi menghadapi gerakan radikal. Keadaan ini dapat ditentukan  ketika peristiwa aksi gerakan radikal skala nasional sudah meletus.

Hal ini dapat menimbulkan luka dalam kehidupan berbangsa, pilihan terakhir yang terpaksa. Resiko lainnya adalah adanya kemungkinan suatu kekuatan di TNI yang merasa tidak puas dengan keadaan, memanfaatkan penumpasan gerakan radikalisme untuk melaksanakan  pemerintahan rezim militer. Bila hal ini terjadi, kita terjerumus dalam siklus lingkaran setan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dapat disimpulkan, konstitusi hanya dapat ditegakakan secara totalitas. Amanat konstitusi untuk hidup berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,  harus diiringi perwujudan  amanat penderitaan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun