Peranan ulama membawa maslahat bagi orang-orang awam. Sebab mereka memberikan pemahaman ilmu agama, meluruskan pemahaman yang salah, serta menetapkan hukum atas sesuatu perkara. Oleh karena itu para shalihin tersebut merupakan penyambung lidah Rasulullah di setiap zaman setelahnya. Sebagaimana Rasulullah bersabda,Â
"Ulama itu pewaris para nabi, sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, dan sesungguhnya mereka mewariskan ilmu."
Hadis di atas menunjukan bahwa keberadaan ulama itu penting di sebuah negara. Apalagi di Indonesia negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sungguh keberadaan para ulama itu penting untuk dimintai pendapat dan nasihat mereka. Tanpa adanya mereka maka negara ini akan kacau dan hancur. Sebagaimana Imam Hasan Al-Basri berkata, "Kalau tidak ada orang-orang sholih maka akan semakin hancur orang-orang yang salah jalan. Kalau tidak ada para ulama maka manusia seluruhnya akan menjadi seperti binatang ternak." (Imam Nawawi al-Bantani: 2010:71)
Perkataan Imam Hasan al-Basri di atas bisa mematahkan pernyataan, "Kita langsung saja kepada al-Quran dan Hadis, tidak perlu pendapat ulama lagi." Pernyataan tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat. Pasalnya yang bisa memahami kandungan ayat al-Quran dan makna hadis yaitu ulama. Sebab kompetensi yang dimiliki seorang a'lim bukan hanya memaknai saja namun mereka yang telah terlebih dahulu menganalisis bahkan mengimplementasikan di kehidupan nyata.
Maka bisa dikatakan, ulama itu petunjuk bagi orang-orang awam. Untuk mendapakan petunjuk mereka, kita hadir di dalam majelis taklimnya. Walaupun dalam majelis taklim, kita hanya ngaji kuping saja paling tidak hal tersebut akan membawa keberkahan bagi diri dan keluarga. Sebagaimana Abu Laits al-Samarkandi berkata, "Barang siapa yang duduk dengan seorang a'lim sedangkan ia belum mampu untuk menghafal sesuatu dari ilmu yang disampaikannya maka ia mendapat tujuh kemuliaan : keutamaan orang-orang yang belajar ilmu, bermuhasabah atas dosa-dosa, turunnya rahmat Allah kepadanya sejak ia keluar rumah hingga menuntut ilmu, apabila turun rahmat Allah pada ahli halaqah (orang-orang yang berada di majelis taklim) maka ia akan mendapat keberuntungan, ia ditetapkan sebagai orang yang taat selama ia mendengarkan ilmu yang disampaikan seorang a'lim tersebut, apabila hatinya menyesal karena tidak faham terhadap ilmu yang disampaikan oleh seorang a'lim tersebut maka paling tidak ada rasa kesedihan yang mencapai pada kasih sayangnya Allah Swt, dan ketika ia memandang kemuliaan seorang alim maka hilanglah sifat  kefasikannya. (Imam Nawawi al-Bantani: 2010:71)