Mohon tunggu...
Sayyidati Hajar
Sayyidati Hajar Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Timor

Perempuan Timor | Traveller Kampung | Teater | Short Story | Short Movie | Suka Budaya NTT | pos-el: sayyidati.hajar@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Mbah Sapardi, Kompasiana, dan Buku "Menyudahi Kabair"

17 Juni 2019   21:28 Diperbarui: 21 Juni 2019   02:14 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi buku. (pixabay/Photorama)

Menulis bukan perkara mudah. Ada orang menulis, lalu tulisannya berlabuh di penerbit mayor. Ada orang menulis, lalu tamat di meja redaksi. Ada orang menulis kemudian susah payah menerbitkan sendiri. Tapi lebih banyak orang menulis, lalu menyimpannya sendiri seumur hidup.

Setiap orang berhak memilih ke mana tulisannya harus pergi. Mungkin ke penerbit mayor seperti Gramedia, Bentang Pustaka, dan Grasindo. Bisa pula memilih penerbit indie dan self publishing. 

Semua bergantung kualitas karya dan kualitas dana. Intinya, menerbitkan buku bukan perihal mencari keuntungan dari royalty semata, melainkan juga kepuasan hati telah mendokumentasikan tulisan dengan baik. Selain itu, cerita tentang proses kreatif  mulai akrab dengan aktivitas menulis juga memiliki arti tersendiri.

Energi Mbah Sapardi dan Perpustakaan Pribadinya

Perkenalan saya dengan sastra baru 10 tahun yang lalu. Bermula dari sebuah komunitas sastra bernama Ranggon Sastra di kampus Universitas Indraprasta PGRI Jakarta. Tepatnya tahun 2010 saya mulai latihan menulis dimentori senior-senior Komunitas Ranggon Sastra. Namun semua tak selancar yang saya pikirkan. Proses mentoring tak berjalan lancar. Saya akhirnya hanya menulis seingatnya saja.

Tahun 2011 saya dipercaya teman-teman menjadi ketua Bem Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia kala itu. Kami merencanakan sebuah kegiatan besar bernama Festival Bulan Bahasa. 

Pendek cerita, salah satu pembicara dalam seminar adalah Mbah Sapardi Djoko Damono. Kala itu saya mulai mengenal puisinya yang romantis itu, Aku Ingin. Beruntung, saya bertugas untuk menghubungi beliau sampai menjemputnya pada pagi sebelum acara di mulai.

Tuhan selalu punya cara menghadirkan makna dalam setiap perjalanan hamba-Nya. Setidaknya itu yang dapat saya simpulkan ketika malakukan tugas menjemput beliau. Saya  terkesima ketika memasuki rumah beliau di Kompleks Perumahan Dosen UI, Ciputat. 

Buku-buku tersusun rapi dalam deretan lemari-lemari kayu yag tingginya mencium ujung plafon. Saya duduk di ruang tamu dengan hati meledak-ledak, juga pertanyaan-pertanyaan mengisi kepala.

"Kapan saya mulai memiliki buku?"

"Kapan saya mulai membaca?"

"Kapan saya mulai menulis?"

"Kapan saya mulai...?"

Energi bertemu Mbah Sapardi menjadi semangat baru. Saya mulai menyisakan uang untuk membeli buku dan membaca buku. Perjumpaan itu menjadi bara yang selalu menghangatkan ketika saya bosan. 

Foto Buku Kumpulan Cerpen
Foto Buku Kumpulan Cerpen "Menyudahi Kabair"

Namun apa daya, menulis tanpa ketelatenan berlatih itu, nol. Saya tak begitu telaten berlatih. Saya pernah ada waktu, dimana bertahun-tahun saya habiskan tanpa menulis satu cerita pun. Keadaan yang benar-benar gawat bagi orang yang berniat menulis banyak cerita. Bersyukur, keinginan untuk menulis  tak benar-benar pergi.

Kompasiana dan Kumcer Menyudahi Kabair

Setelah bosan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam diri saya sendiri yang tak kunjung selesai. Akhirnya saya memulai berlatih lagi. Dua tahun terakhir saya mulai berlatih  menulis. 

Setidaknya, saya kembali menemukan alasan-alasan untuk menulis. Satu di antara sekian alasan saya menulis adalah tanah kelahiran  saya di Timor. Bila selama ini saya membaca aneka buku berlatar Jawa dengan aneka budayanya, saya ingin orang mengenal Timor dan budayanya.

Alasan itu tidak original pendapat saya. Saya menemukan penulis-penulis di Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai menyuarakan itu. Sudah waktunya banyak orang menulis tentang Timor, tentang NTT. Saya pun mengaminkan apa yang mereka suarakan. Saya pun mulai menulis cerita-cerita.

Tahun lalu, saya tak sengaja bertemu dengan dua kompasianer NTT, Tilaria Padika dan Arnold Adoe.  Pertemuan itu berlajut dengan pembentukan komunitas KampungNTT.

Kompasiana menjadi media latihan yang sangat membantu penulis pemula seperti saya. Selain berlatih, saya pun dapat membaca cerita-cerita dalam rubrik Fiksiana. Pelan-pelan saya memberanikan diri untuk mempublikasikan karya-karya yang sudah ada.

IRGSC Publisher, Penerbit Buku di Kupang-NTT

Pilihan saya jatuh pada Self Publishing. Naskah akhirnya berlabuh ke IRGSC Publisher. Sebuah penerbit di kota Kupang yang ditangani langsung oleh seorang sastrawan NTT, Ragil Sukriwul. Sebagai penulis pemula yang belum begitu percaya diri  menembus penerbit mayor, self publishing menjadi alternatif yang cukup mebantu.

Buku kumpulan cerpen, Menyudahi Kabair terdiri dari dua belas cerita.  Desain isi dan sampul dikerjakan pihak penerbit, sedangkan ilustrasi saya kerjakan sendiri. Sejujurnya,bukan berarti saya terampil dalam menggambar. Sungguh itu sebuah 'kecelakaan' yang mengantar saya mengerjakan ilustrasi sendiri. Namun, 'kecelakaan' itu saya syukuri sebagai sebuah berkah besar dari Tuhan. Setidaknya, untuk buku-buku berikutnya saya dapat menyiapkan diri untuk membuat ilustrasi yang lebih baik.

Menyudahi Kabair, akhirnya mulai saya pasarkan 12 Juni 2019 lalu. Saya tak akan menceritakan isinya, sebab tujuan saya menulis agar dibaca oleh orang lain. Saya hanya ingin berbagi Timor dalam cerita-cerita. Bila berkenan, bacalah.

Kupang, 17 Juni 2019

Salam,
Sayyidati Hajar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun