" Â Apa kau mau memaafkan semua itu..?", tambahnya sambil terus mendekapku erat.
Â
" Tat, semua itu keputusan kita, bukan salahmu sendiri... aku sudah memaafkanmu dan memaafkan diriku sendiri...", ujarku sambil menatap matanya yang semakin aneh.
Â
Malam itu ia memelukku dan terus mengajak bayi dalam kandunganku untuk bicara dengannya. Aku tak tau sampai pukul berapa ia tertidur, ketika tersadar pada pagi hari ia masih tertidur dengan tangan kanan memelukku. Malam itu adalah malam terakhir ia memelukku, sebelum ia jatuh dan meninggal karena akan memetik kelapa muda untukku.
Â
Setelah kepergiannya, aku hanya bisa berdiri menghadap jendela tua di kamarku, tempat yang kulewati saat ia membawaku pergi dari rumahku. Hanya melalui jendela tua itu aku bisa kembali memasuki rumahku sendiri, meski hanya lewat baying-bayang semu. Semua pintu tlah dikunci, dan aku tak mampu membukanya, bahkan hanya untuk sekadar khayalan pun aku tak sanggup. Hanya melalui jendela tua itu, aku bisa kembali bermimpi mengenang masa bahagiaku bersama ena dan ama yang tak akan kembali.
Â
Sedangkan pada jendela muda ini, aku tetap kembali mengenang masa indahku bersama lelakiku. Meski aku merasa nestapa ini semakin berat, namun mengingat cintanya aku paham tentang kerinduan dan pengorbanan. Aku memilihnya dan dia memilihku, aku berkorban untuknya dan dia berkorban untuk membahagiakaku. Biarkan rindu ini mengembun dan cair bersama air mataku, hingga suatu saat, melalui dua jendela ini aku bisa bertemu meraka yang kucintai, dan juga ia yang kucintai.
Â
 Â