Sejak hari itu, putriku giat sekali menyulam dan menenun sarung, bahkan menganyam yang biasanya tak bisa ia lakukan pun kini ia lakukan dengan penuh semangat. Banyak buah tangan yang ia hasilkan sejak ia mengenal laki-laki itu.
Â
***
Â
Pagi itu siulan burung menggema merdu, matahari nampak di ujung timur bebukit. Tetesan embun jatuh malu-malu dari ujung runcing daun cemara. Sementara itu bunyi batu bersahut-sahutan dari rumah-rumah bulat penduduk yang sering  disebut umekbubu. Rumah itu bulat seperti lopo dengan empat tiang penopang dan loteng untuk menyimpan hasil panen yang akan diasapi sepanjang tahun. Atapnya umekbubu terbuat dari rumput alang-alang. Meski bentuknya mirip lopo, atap umekbubu dibiarkan menjuntai satu jengkal di atas tanah dengan satu pintu.
Â
Batu sudah bersahut-sahutan sebgai pertanda para ibu dan para gadis sedang membuat jagung titi[5] untuk memasak bubur jagung titi atau nasi jagung. Seperti biasa Lina sudah duduk meluruskan kaki memangku nyiru[6] berisi dua buah batu kali berukuran pelat seperti piring dan berukuran lebih kecil sehingga bisa dipegang dengan satu tangan. Sudah hampir setengah tahun anakku menggantikan aku mengerjakan semua pekerjaan rumah, ia sangat rajin sekarang. Dan aku tahu mengapa ia begitu rajin sekarang, iya aku tahu, karena aku ibunya.
Â
Menjelang siang suamiku pulang dengan wajah merah padam. Dari kejauhan ia memanggil-manggil nama putri kami.
Â
" Lina!!! Lina...!!!", panggilnya dengan nada marah.