Aplikasi jam yang tertera di layar gawai sudah saya lirik beberapa kali. Sedikit khawatir akan terlambat, meski waktu  yang dijadwalkan masih cukup. Rencananya Pak Gubernur Viktor B. Laiskodat akan tiba Pukul 11.00, sekarang baru pukul sepuluh kurang lima belas menit. Butuh waktu sepuluh menit lebih untuk mengganti aki motor, mengisi bensin, dan mengisi angin di bengkel Oko Lo, Niki-Niki.Â
Motor Revo lama keluaran tahun 2007 yang akan menemani saya ke Amanuban Timur  harus dalam keadaan prima. Jarak Oe-Ekam, pusat Kecamatan Amanuban Timur 31 kilo meter dari Niki-Niki. Akses jalan ke Oe-Ekam terbilang cukup baik, kecuali dua jembatan kayu yang membuat dada dag-dig-dug.
Jalanan basah sedikit ketika saya berajak dari Bengkel Ence Lo. Jalanan licin. Spidometer menunjuk angka 60, motor berkecepatan sedang  saja  menyusuri jalan utama menuju Oeoh. Jalanan lenggang.Â
Sejujurnya keinginan ngebut sudah di ubun-ubun. Tapi kali ini saya menahan diri menyilakan mobil-mobil berplat merah yang ingin ngebut sampai ke lokasi kegiatan Jalan Salib Kontekstual yang diadakan Klasis Amanuban di GMIT Betania Haunomaten pada hari Selasa 30 April 2019. Walau bagaimanapun, formasi harus lengkap. Pejabat pemerintah harus sampai lebih dahulu sebelum Pak Gubernur tiba.
Saya tetap melanjutkan perjalanan, hujan tak begitu serius pagi itu. Setelah melewati cabang Oeoh, saya disambut dengan pemandangan khas Amanuban, beberapa adik-adik berseragam merah putih tersenyum ceria.
"Selamat Siang," sapa mereka kompak ketika saya tersenyum memainkan klakson motor.Â
Beberapa titik keringat mulai mengucur di dahi. Senyum mereka merekah. Anak-anak kelas 1 Sekolah Dasar. Biasanya mereka pulang  pukul sepuluh atau sebelas. Tradisi 'sekolah setengah hari' yang sejak dulu ada.Â
Setelah melewati tiga rombongan anak SD itu, motor saya pacu menuruni jalan menuju jembatan Noefatu. Beberapa orang berseragam dinas siaga di ujung jembatan. Dada saya dag-dig-dug. Jembatan kayu dengan lubang-lubang menganga itu sempat membuat saya gugup.Â
Batuan putih di dasar kali Noefatu bisa menyambut pengendara dari balik lubang. Saya berusaha fokus. Bila mobil-mobil berplat merah itu melewati jembatan-jembatan ini degan perasaan biasa saja. Tak gugup. Harusnya saya pun bisa demikian, bukankah keadaan itu biasa?
 Setelah mengucap 'Basmallah' dalam hati. Gas  mulai saya tancap menyeberangi jembatan kayu Noefatu yang tampak tak banyak berubah. Hampir sama dengan puluhan tahun silam ketika saya masih kecil.
Jalan mulai mendaki. Kayu salib dominan warna ungu mulai  menghias sisi-sisi jalan. Umat kristiani di Amauban Timur banyak membuat kayu salib yang mereka sebut 'hau nehe'.Â