Mohon tunggu...
Sayyidati Hajar
Sayyidati Hajar Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Timor

Perempuan Timor | Traveller Kampung | Teater | Short Story | Short Movie | Suka Budaya NTT | pos-el: sayyidati.hajar@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penting Nggak Penting

6 Desember 2018   13:04 Diperbarui: 6 Desember 2018   14:04 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak hal terjadi di lingkungan kita. Ya,  kadang hal yang kita anggal remeh-temeh namun efeknya bisa kemana-mana. Sederhana sih kalau dibiarkan begitu saja tanpa refleksi.  Dan akan jadi rumit ketika kita memutuskan berada pada titik ikut merasakan setiap kejadian yang nggak penting bagi orang-orang tapi penting bagi kita.  Penyebab penting nggak penting memang bermacam-macam ya,  kadang karena ini kadang karena itu.
Nah,  alasan paling klasik suatu kejadian penting dapat saya klasifikasi menjadi beberapa bagian.

Pertama,  karena kenal. Jadi begini,  suatu siang setelah pulang dari penarikan mahasiswa PLP  (Pengganti PPL) di sekolah saya putuskan mampir beli buah di  sebuah supermarket. Setelah pilah-pilih akhirnya saya putuskan beli buah naga. 

Secara saya memang kurang darah gaes,  jadi butuh buah-buah segar untuk ningkatin tekanan darah. Hehe..  Jadi,  kita lanjutkan. Saya menuju timbang buah. Eh,  ketemu ibu-ibu ngotot banget. Sama  mba yang nimbang udah bilang sekilo beliau tetap ngotot nimbang lagi. Beliau nggak percaya kalau udah sekilo.

"Ini anak beta su  bilang satu kilo dia sembarang saja," ibu itu terus mengumpat entah anak-ponakan-atau jenis kekerabatan lain  yang berdiri tak jauh darinya dengan dialek melayu-kupang.

Awalnya saya cuek saja dengar emak-emak ceramah di depan umum.  Secara emang gitu ya kebanyakan emak-emak zaman sekarang. Kalo udah emosi, uuuugh...nggak pake milih-milih tempat dah. Mau di pasar,  sekolah, taman bermain,  atau di museum sekalipun tetap aja keluar ceramahnya.  Nah,  kasihan emang sama anak atau sodara-sodara kita yang dimarahi.  Malu kan ye,  dimarahin depan umum. Apalagi kalau ketemu temen, guru,  d

osen, atau pejabat pemerintah lainnya yang dikenal baik. Kasihan deh pokoknya. Eh,  balik lagi ke ceritanya cintaaah. Saya mendekati emak-emak itu.  Nggak sengaja mata ekor mata saya mendapati anak laki-laki yang dimarahi si emak menyeret keranjang dengan buah-buah segar.

"Siang Ibu," anak laki-laki itu menyapa sebelum saya benar-benar mengenalinya.
"Eh,  iya," saya hanya tersenyum salah tingkah mau bilang apa.  Untunglah mba-mba penimbang buah mengisyaratkan saya untuk maju. Setelah buah yang saya pilih ditimbang, akhirnya saya pamit duluan.  

Tapi sumpah si masih marah-marah.  Anak laki-laki yang tak  lain adalah mahasiswa saya itu kembali menyeret keranjang dengan kepala tertunduk. Ehm,  hati saya sungguh tak tega tapi apa tak baik ngurusi dapur orang. Meski begitu kejadian demikian saya anggap penting sebagai bahan refleksi. Bahwa, tidak semua mahasiswa tinggal bersama keluarga, dan hidup ideal.

Kedua, peduli.  Besar kemungkinan manusia merasa kejadian itu penting karena dia peduli. Ketika gempa musibah Donggala misalnya,  seketika jagad raya menjadi ramai. Semua bahu-membahu mengulurlan bantuan. Banyak orang berupaya melakukan sesuatu bukan atas rasa kasihan sesaat. Ajaib. Nggak kenal kok, apa lagi deket. Hehe...hanya saja,  kita peduli. 

Nah,  peduli ini emang ajaib bro. Nggak kenal aja masih bisa peduli e,  apalagi sama mantan yang jelas udah pernah kenal. Eaaah...  Kudu tetap peduli gaes.  Minimal kalo dulu putusnya karena selingkuh, doakan biar nanti dia nggak selingkuh lagi. Hihihi... Itu juga masuk kategori peduli mantan. Kwkwkw...

Ketiga,  alias terakhir adalah kasihan. Nah, gaes beda antara peduli dan kasihan emang tipis banget kan yak?! Kadang karena kasihan makanya dia peduli meski peduli nggak melulu harus karena kasihan gaes. Cara bedain mana peduli mana kasihan juga butuh ketenangan. Ketika lihat suatu kejadian, periksa keadaan hati masing-masing.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun