Gila, itulah kesan yang saya tangkap dari pengalaman saya tadi pagi. Bagaimana tidak, semua harga bahan makanan melonjak dengan tidak wajar. Terlalu!
Pagi tadi saya menemani Om saya berbelanja di pasar tradisional Babelan. Seperti pasar tradisional lainnya, pengelolaan yang belum baik dan bau di mana-mana mewarnainya. Belum lagi membludaknya orang-orang yang berbelanja. Bau apapun bercampur di dalam pasar, dari mulai bau daging sampai bau bumbu dapur, dari mulai bau kentang sampai bau ketiak.
Harga komoditas naik secara tidak wajar. Pengamatan saya tadi pagi, harga sekilo daging menyentuh angka seratus ribu, harga 10 petai mencapai 50 ribu. Sekilo kentang dihargai 8000, begitu juga dengan melon. Kenaikan harga-harga ini seakan sudah menjadi trend yang tidak selalu muncul menjelang Lebaran.
Bisa jadi, kenaikan harga-harga tersebut karena permintaan yang terlalu banyak. Bahasa ekonominya, demand pull inflation. Penawaran tidak mencukupi permintaan sehingga harga menjadi naik. Atau ada permainan di balik layar, memanfaatkan “keberingasan” konsumen?
Terlepas dari mana jawaban yang benar, seringkali kita berlebihan dalam berbelanja. Apalagi untuk kesempatan tertentu. Membeli baju yang banyak, membeli kebutuhan dapur, menimbun makanan di lemari es sudah menjadi tradisi lebaran. Belanja berlebihan menjadi budaya tahunan.
Padahal, esensi lebaran adalah kembali makan minum. Kembali dari sesuatu yang membatalkan puasa. Ketika lebaran tiba, kita diperbolehkan kembali makan minum. Sebuah Rahmat yang amat besar. Enggak kebayang kan kalo mesti puasa berbulan-bulan?
Tujuan berpuasa di bulan Ramadhan adalah menjadi insan bertakwa. Sudah banyak sekali “latihan” yang kita lakukan di bulan ini. Seringkali, kita mementingkan tradisi, berlebihan dalam sesuatu yang tidak diperintahkan agama. Ya, walaupun begitu. Setiap tahun pasti selalu ada gejala yang sama. Apakah ketakwaan kita bertambah setelah lebaran ini, jawabannya berpulang kepada diri kita masing-masing. Apakah kita “berhasil” atau gagal?