Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Idul Adha dan Monumen Ibrahim

16 Juli 2021   10:41 Diperbarui: 16 Juli 2021   11:24 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: https://cdn1-production-images-kly.akamaized.net/

Hari Raya Idul Adha disebut dalam sebuah hadits sebagai hari yang agung, meski dalam praktiknya mungkin tak dirayakan semeriah Idul Fitri. Paling tidak dalam kultur keberagamaan kita di Indonesia. Namun hal itu tak serta merta mengurangi sisi tingginya makna Idul Adha dalam Islam. Paling tidak, anjuran untuk mengundangkan takbir, tahmid dan tahlil pada Idul Adha ini lebih panjang waktunya jika dibandingkan dengan Idul Fitri, yakni sejak petang tanggal 9 Dzulhijjah, tanggal 10 Dzulhijjah plus tentu saja Hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

 Dalam sebuah hadits, keagungan Idul Adha dikarenakan dua momentum. Pertama An-Nahr atau penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah dan Hari Tasyrik. Kedua, karena ada Al-Qarr (menetap), karena pada 11 Dzulhijjah jutaan umat Muslim yang menjalankan rangkaian ibadah haji tengah bermlam dan menetap di Mina melantunkan nama Allah. Karena itulah sebagai hari raya Idul Adha dinilai lebih besar dari Idul Fithri, sehingga dikenal juga dengan sebutan Idul Akbar.

Namun di luar apa yang disebutkan hadits, keistimewaan Idul Adha juga amat terkait dengan sejarah penting risalah agama-agama besar dunia, yakni Yahudi, Nasrani dan Islam. Dan semua ini pada akhirnya merujuk pada apa yang diwariskan Nabi Ibrahim As, sosok yang tidak hanya diimani para Muslim, namun juga popular bagi penganut Yahudi dan Nasrani. Dalam studi sejarah agama, ketiga agama besar ini  menemukan titik temunya pada ajaran Ibrahim.

Dalam kaitan dengan Idul Adha ini, warisan Ibrahim sangatlah kental, karena banyak ajaran dan kisah hidupnya yang dilembagakan oleh Allah sehingga tetap abadi sampai saat ini, era umat Muhammad Saw. Sebut saja ibadah kurban, lalu Baitullah yang dibangun Ibrahim dan Ismail, hingga ritual ibadah haji yang sebagian besar adalah warisan Nabi Ibrahim.  Karen Amstrong, seorang peneliti agama-agama yang secara khusus pernah meneliti dan menuliskan buku tentang sejarah tiga agama besar dunia (Yahudi, Kristen dan Islam) dalam konteks pencariannya tentang Tuhan, pun memberikan kesimpulan yang kurang lebih sama, bahwa pijakan utama dari ketiga agama ini tidak bisa tidak untuk dikaitkan dengan Ibrahim (Abraham). Seperti halnya dalam Islam, Ibrahim pun mendapatkan kedudukan yang agung pada Yahudi dan Kristen. Dalam sejarah, ketiga agama ini digambarkan sebagai penganut monoteisme dengan Ibrahim menjadi akar dan figur utamanya, meskipun diakui sendiri oleh Karen bahwa ketiganya tetap memiliki persepsi yang tidak selalu sama dalam konsep Tuhan Yang Esa.

Secara khusus bagi pemeluk Islam, nilai dan ajaran Ibrahim As terasa lebih kuat dan kokoh karena diabadikan oleh Allah dalam syariat Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir. Karena itu, risalah Nabi Ibrahim menjadi amat monumental.

"Dan kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian" (Qs. As-Saffat: 108)

Lalu dalam kaitan dengan Idul Adha, apa saja monumen-monumen yang telah diwariskan Ibrahim untuk umat manusia? Setidaknya ada tiga monumen penting yang secara esensi bukan hanya vital, tetapi juga tetap relevan dengan kondisi zaman mutakhir ini. Hal ini juga ditegaskan dalam Alquran;

Pertama, sebagaimana telah disinggung di awal, tentu sosok Ibrahim tidak bisa dilepaskan dari prinsip dan nilai tauhid (Keesaan Tuhan).  Hebatnya, nilai tauhid ini bukanlaah sesuatu yang jatuh dari langit, Ibrahim muda juga tidaklah menerima begitu saja apa yang menjadi cara bertuhan masyaraakatnya (taken for granted). Lebih dari itu, tauhid adalah benar-benar hasil pencarian dan penelitian serius Ibrahim untuk menemukan Tuhan. Dalam Alquran, proses ini setidaknya merujuk pada dua drama besar yang dialami Ibrahim, yakni saat dia nekat menghancurkan patung-patung yang diyakini masyarakatnya sebagai tuhan. Aksinya pun dibayar mahal dengan hukuman bakar dari sang raja.

Berikutnya adalah proses observasi Ibrahim terhadap semesta, ia mencari sesuatu yang dianggap besar dan layak menyandang kedudukan sebagai Tuhan. Dia amati bintang, bulan, dan matahari, tiga benda langit yang memenuhi hipotesa awalnya tentang Tuhan. Tetapi semua benda langit yang di masa itu juga dipercaya memiliki kekuatan gaib, pada akhirnya dieliminasi dari daftar potensinya menjadi Tuhan. Karena bintang, bulan dan matahari ternyata bergantung pada waktu, timbul dan tenggelam. Kisah ini dilukiskan dalam QS: Al-An'am: 76-78.

Dari dua drama tersebut, Ibrahim sebetulnya telah melakukan proses yang di abad modern dikenal dengan metode fasilifikasi atau uji kesalahan, lawan dari uji kebenaran (verifikasi). Dalam falsifikasi, hal-hal yang mendekati kesalahan harus disingkirkan dari potensi kebenaran itu sendiri. Ibarat kita menyortir barang hasil produksi, yang afkir singkirkan dulu. Dan hasil dari pencarian dan penelitian Ibrahim adalah seperti yang disebut dalam ayat selanjutnya, Al-An'am: 79:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun