Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Era Disrupsi, Berubahkah Cara Beragama Kita?

6 Mei 2021   19:14 Diperbarui: 7 Mei 2021   18:47 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: betanews.id

Proses pendidikan formal ini sedikit banyak telah memberikan transformasi tentang cara berpikir, termasuk terhadap alam dan agama itu sendiri. Kedua, seiring waktu karena kondisi ekonomi masyarakat yang membaik, banyak orang tua yang memasukkan anak-anaknya ke pondok pesantren. Dengan semakin banyak yang mondok, maka akses terhadap keilmuan agama semakin terbuka luas, yang pada akhirnya ini juga tersosialisasikan secara baik ke masyarakat (dakwah) entah melalui madrasah, majlis taklim, atau pengajian-pengajian.

Dalam khasanah sosiologi, fenomena ini juga menggambarkan proses perubahan sosial  dari masyarakat tradisional (gemeinscshaft) yang bercorak keguyuban (komunal) dan alamiah ke masyarakat gesellschaft (masyarakat asosiasi) yang individual, atau dari masyarakat mekanik ke organik. Pandangan-pandangan tradisional sedikit banyak telah tergeser oleh rasionalitas masyarakat modern. Terlebih di era disrupsi seperti sekarang ini, banyak tatanan yang diyakini mau tak mau harus berubah agar tetap bertahan.

Lalu, selain perubahan "cara beragama" di masyarakat kultural Nahdlotul Ulama (NU), bagaimana dengan Muhammadiyah. Sebagai lembaga sosial yang tak hidup di ruang hampa, Muhammadiyah juga tentu saja mengalami perubahan pada dirinya, termasuk mungkin dalam cara beragamanya. 

Konon, dulu amaliah ibadah (fiqih ibadah) warga Muhammadiyah di masa awal juga mirip-mirip dengan amaliaah warga NU, yakni condong pada madzhab Syafii. Sebut saja beberapa amaliah ibadah seperti shalat tarawih 20 rakaat plus witir 3 rakaat, tahlilan, ziarah kubur, dan lainnya. Pendapat ini biasanya mengacu pada dokumen Kitab Fiqih Jilid Telu, meski ada juga pihak yang meragukan keaslian dokumen tersebut.

Tetapi kalaupun Kitab Jilid Telu ini shahih adanya, pun itu bukan sesuatu yang sebetulnya aneh-aneh amat. Oleh sebab, Muhammadiyah sendiri sejak awal mendefinisikan dirinya sebagai organisasi tajdid yang berwatak pembaharuan atau pencerahan. 

Jadi, kalaupun pada akhirnya amaliah ibadah mereka memang sebutlah berubah dari amaliah ala NU menjadi amaliah ala Tarjih seperti sekarang ini, itu juga wajar saja, karena toh sejak awal Muhammadiyah telah menisbatkan dirinya berdamai (menerima) modernisme. 

Maka tak heran, sejak awal pula Muhammadiyah termasuk yang memelopori sekolah modern ala masyarakat Barat (Belanda) dengan menggunakan sistem meja kursi, berbeda dengan cara warga NU yang masih menganut sorogan.  Ya inilah perubahan, niscaya adanya.

Dari pandemi Covid-19 kita juga mengamati bagaimana anak-anak sekolah sampai santri pondok semakin familiar melakukan aktivitas secara virtual, termasuk belajar dan kajian keislaman. Apa yang dulu dianggap tidak mungkin, sekarang menjadi mungkin. Bukan tidak mungkin pula, karena proses disrupsi yang masif, sebagian besar aktivitas manusia akan virtual pada akhirnya. 

Dulu kita diwanti-wanti jangan belajar agama hanya dari buku, nanti gurunya setan. Tetapi hari ini bukan lagi membaca, setiap orang bisa menikmati kajian agama sambil makan, sambil rebahan, sambil kerja, cukup dari peraangkat gadgetnya. 

Kita bisa setiap saat menyimak Maiyahannya Mbah Nun atau kajian Gus Baha dari chanel Youtube. Mungkin saja tak se-afdhal saat ngaji langsung secara fisik ke para guru, ustadz dan kiai. 

Tetapi sisi positifnya, pesan-pesan agama juga dengan mudah menyebar secara lebih luas ke masyarakat dengan berbagai latar belakang. Kalau seorang yang masih banyak dosa (seperti saya) mungkin terkadang masih malu menghadiri majlis ilmu, paling tidak tayangan-tayangan keagamaan di media sosial dan chanel Youtube bisa menjadi pintu awal untuk senang ngaji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun