Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Era Disrupsi, Berubahkah Cara Beragama Kita?

6 Mei 2021   19:14 Diperbarui: 7 Mei 2021   18:47 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: betanews.id

DALAM hidup, apa sih yang tidak berubah? Terlebih saat ini ketika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berlangsung dengan cepat dan masifnya, menuntut banyak hal menyesuaikan diri, berubah. Bahkan, bisa jadi cara kita beragama pun juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu; dari kecil, menginjak remaja, dewasa, lantas menua.

Dulu, sewaktu kecil, aku tinggal di kampung yang kental dengan tradisi santri. Mungkin sekitar awal 80 an sampai awal 90 an, aku masih terbiasa melakukan ritual yang jamak dilakukan warga kampung, yakni setiap kali melewati tempat sepi dan banyak pohon rindang (besar) di sana, maka biasakanlah meminta izin kepada "penunggu" nya. "Amit Nyai, putumu numpang liwat" atau ungkapan sejenisnya. 

Di luar aspek ritualnya, mungkin praktik ini juga menggambarkan bagaimana pandangan dunia (wolrdwiew) masyarakat yang melihat alam sebagai sesuatu yang berdaya magis, memiliki kekuatan adikodrati, sesuatu yang mungkin beririsan dengan cara pandang para penganut animisme dan dinamisme.

Contoh berikutnya, adalah ritual membuat sesajen yang dilakukan orang-orang tua, salah satunya saat ada anggota keluarga yang tengah sakit, khususnya jika yang sakit itu anak-anak. Sesajen itu berisi makanan yang rowah (komplit), ada telur rebus, kadang ayam, jajanan, yang diletakkan dalam layah (piring berbahan tembikar), dan diletakkan di sudut-sudut rumah atau di bawah pohon besar. 

Kalau ada anak yang sakit demam berkepanjangan, biasanya orang tua juga akan membawanya ke ahli spiritual, orang yang dianggap punya kemampuan supranaural tertentu. Tetapi mereka bukan dukun, bahkan biasanya orang yang paham agama. 

Dalam proses diagnosa, sang ahli spiritual ini akan menerawang tentang penyebab sakit si anak, adakah kaitannya dengan gangguan makhluk lain (jin), lalu biasanya pulang dengn membawa air putih yang telah dibacakan rapalan doa atau kadang juga dengan tambahan obat herbal. Ini pun tidak hanya dilakukan orang biasa, tetapi juga mereka yang menyandang status ustadz sekalipun. Kadang disarankan juga lokasi ari-ari si anak dipindah dari tempat awalnya. Untuk yang terakhir ini sepertinya masih dilakukan sebagian orang tua sampai saat ini.

Pernah juga beberapa kali, setiap rumah membuat bubur merah putih lalu meletakkannya di sudut-sudut rumah dengan piring atau daun pisang. Salah satu yang kuingat, ritual ini dilakukan orang-orang kampung pasca munculnya rumor soal kemarahan Ratu Kidul. Dan masih banyak tradisi sejenis lainnya yang saat itu dilakukan bukan lantaran orang terlalu awam pengetahuan agamanya, tetapi tidak jarang malah tradisi itu berkelindan dengaan pemahaman dan cara beragama masyarakat saat itu. Atau mungkin wujud lain dari mistifikasi agama.

Seiring waktu, berbagai tradisi tersebut perlahan hilang dari peredaran. Saat ini, nyaris tidak ada warga kampung kami yang --bertradisi keagamaan ala nahdliyin-  permisi ke penunggu saat melewati tempat sepi. Tidak ada sesajen, atau bubur merah putih yang diletakkan di sudut-sudut rumah. 

Saat anak-anak sakit, orang tua juga tidak lagi pergi ke orang pintar, mereka memilih ke dokter atau rumah sakit, atau minimal ke bidan dan Puskesmas. Bahkan, sebagian  mungkin akan menganggap ritual-ritual masa lalu tersebut sebagai bentuk kemusyrikan. Artinya, sadar atau tidak, ada perubahan di sekitar cara kita beragama, berubah pula cara pandang kita terhadap alam dan lainnya.

Lalu apa yang memicu itu semua? Tentu banyak aspek. Bisa jadi faktor pendidikan, karena kalau dulu masih jarang penduduk kampung  kami yang menempuh bangku sekolah hingga jenjang SMP (bahkan banyak yang tak lulus SD), saat ini sebagian besar masyarakat telah menyekolahkan anaknya sampai SMA sederajat atau bahkan tak sedikit yang masuk perguruan tinggi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun