Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diuji dalam Kecukupan Itu Berat, Kawan!

23 Maret 2021   11:26 Diperbarui: 23 Maret 2021   11:47 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.daaruttauhiid.org

KONON, ujian dalam kelapangan itu lebih sulit. Banyak orang lulus saat diuji dengan keserbasulitan: kemiskinan, kekurangan, lapar, kegagalan, terpuruk, sakit, dan lainnya. Dia tetap mampu menjaga kewarasannya dan mengingat Tuhannya. Tetapi banyak yang gagal ketika dihadapkan pada ujian kelapangan, kecukupan dan kelimpahan, kemapanan, dan sejenisnya. Ungkapan ini sering kita dengar dari para kiai, ustad, atau minimal orang tua.

Dalam kehidupan keseharian kita juga serig mendengar keluhan saudara, kawan, tetangga atau rekan kerja soal fenomena semacam ini.

"Perasaan dulu pas susah dia nggak gitu-gitu amat, sering bantu teman. Sekarang giliran sukses lupa deh sama teman, pelit lagi". Begitu contohnya. Atau dalam ungkapan singkat, "Agh, pas udah kaya aja, sombong!".

Secara psikologis, bisa jadi manusia memang akan lebih peka justru dalam kondisi hidupnya yang sulit dan sempit. Kadang kita sedemikian mudah menangis, termasuk ketika shalat dan bermunajat kepada Allah, oleh sebab sedang dihimpit masalah berat. Tetapi ketika kondisi normal apalagi sebaliknya, penghayatan atas doa pun tak se-khusyu  saat sulit. Kesimpulannya, bahwa kemudahan dan kemapanan seringkali melenakan. Posisi di atas (sukses finansial, status, kedudukan, jabatan) membawa potensi kita lupa menginsafi asal-usul, proses, sehingga khilaf sekadar berterima kasih dan bersyukur.

Ternyata, fenomena ini juga disinggung oleh Allah dalam Alquran. Misalnya dalam QS. Al-Isra: 67.

"Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan Kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih."

Wah, Allah saja menyindir kita, manusia, sebagai makhluk yang mudah lupa berterima kasih (syukur). Jika ditarik lebih luas, mugkin bukan hanya syukur pada Tuhan, melainkan juga syukur terhadap sesama manusia. Bukankah kita sangat rentan melupakan jasa orang-orang terdekat kita, alpa berterima kasih. Bahkan seorang yang mengklaim tak ber-Tuhan sekalipun (atheis), dalam situasi hidupnya terancam, dia bisa mendadak berdoa dengan khusyu.

Belajar dari Puasa 

Puasa merupakan ibadah yang tidak ringan. Bukan hanya soal ikhtiar mendidik nasfu yang memang amat berat, sebagai ibadah fisik pun bukan perkara ringan berlapar-lapar dan berdahaga ria sejak pagi sampai senja. Jadi sebagai sebuah ujian ketatan, ibadah puasa memang cukup berat. Bahkan dalam perintahnyaa tentang kewajiban berpuasa Ramadhan, Allah sendiri mengisyaratkan hal ini, sehingga menyertakan kalimat: "Sebagaimanaa telaah diwajibkan atas umat sebelum kamu" guna memberi efek psikologis yang menghibur bagi umat akhir zaman yang memang secara fisik lebih lemah.

Tetapi tunggu dulu, ujian ibadah puasa juga tidak hanya berlangsung di pagi dan siang hari, melainkan juga saat menjelang dan melangsungkan ifthar atau berbuka puasa. Kita mungkin mampu menahan lapar dahaga, mampu menahan marah dan maksiat di siang hari, minimal dengan tidur. Tetapi saat berbuka tiba, seringkali kualitas kendali kita atas nafsu menjadi melemah. Lagi-lagi, dalam kondisi lapang dan senang, ujian bisa jadi lebih berat kita lalui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun