Ya seperti mala mini, kami memilih naik angkutan ke pusat kota. Setelahnya berjalan kaki ke sana kemari sampai nongkrong di taman kota.
"Iya, Bapak. Tadi kami jalan kaki dari jalan utama. Motor saya sudah ditarik leasing, Pak,"
Pak Doyo terdiam. Rautnya berusaha senyum, tapi kalah oleh desakan serius yang mungkin menjejali kepalanya. Aku menyimpulkannya sebagai kecewa. Lebih tepatnya khawatir, kalau anaknya nanti jadi menikah dengan aku, -wartawan lokal bergaji sedikit di atas UMK-, bagaimana mungkin anaknya terjamin kebutuhan keseharian. Ya, itulah kesimpulanku atas apa yang tersimpan di benaknya.
***
Selang dua pekan setelah pertemuan itu. Aku belum sekalipun bertemu dengan Lisna. Aku tak berani, meski Lisna memaksa untuk menemuiku. Sebagai lelaki, aku memilih menyerah melawan tantangan calon bapak mertua. Dia memintaku resign sebagai wartawan yang disebutnya tak menjanjikan. Jika ingin serius dengan anaknya, aku harus memastikan punya pekerjaan lain yang lebih menyejahterakan.
Tapi aku menolak, karena menjadi jurnalis adalah atas dasar cinta. Inilah passionku. "Kalau soal penghasilan, aku berjanji untuk menambahnya dengan membuka usaha kecil-kecilan, Pak. Tapi maaf, aku menjadi wartawan karena memang mencintai dunia itu," tawarku saat itu.
Tapi Pak Doyo tak menerima tawaranku. Di depan Lisna yang nangis cecegukan, Bapak menolak pinangan kuli tinta untuk anak gadisnya.***