Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rekonsiliasi atau Negosiasi?

28 April 2019   16:41 Diperbarui: 28 April 2019   18:06 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

HARI-hari omong politik, akupun ikut terseret di derasnya. Mungkin ada benarnya ungkapan Voltaire, bahwa politik sejatinya tak lebih dari seni merancang kebohongan. Dalam politik, tidak ada yang 100% benar, pun atau 100% salah. Premis itupun otomatis berlaku untuk penulis dan tulisan ini, jangan kau percaya 100% atau sangsikan 100%. Anggap saja semacam disclaimer, mudah bukan?

Ramai orang bicara rekonsiliasi paska Pemilu Serentak 2019. Mungkin tepatnya paska Pilpres, karena poin ini yang dianggap paling mendongkrak tensi, membelah masyarakat menjadi seolah-olah oposisi biner, sekuel 2014. Lantas siapa yang paling membutuhkan reskonsiliasi, elit politik ataukan rakyat? Atau lebih jauh, benarkah elit politik benar-benar butuh rekonsilisi.

"Lah, rekonsiliasi, islah, kui pekerjaan hati, wilayah budaya, nek sg ngomong politisi yo mbuh, lek. Terserah mereka, mau rekonsiliasi apa negosiasi," timpal Emak.

Lah, kok Emas ketus betul. Aku jelaskan, beberapa tokoh sudah menyerukan pentingnya cooling down, meminta dua kubu islah. Bahkan, salah satu kubu sudah menginisiasi silaturahmi untuk merekonsiliasi. "Moso gak percaya, Mak?"

"Lek, lah pemilu saja belum rampung tahapanya, masing-masing kubu masih meyakini menang, ya ini biar tuntas dulu. Biar KPU nanti mengumumkan hasil resmi, itupun belum rampung, Lek. Nek salah satu kubu mengajukan gugatan ke MK, piye jal? Ya tunggu meneh. Baru setelah MK memutuskan, gugatan konstitusional sudah dapat jawaban, monggo kalau mau rekonsiliasi. Syarate siji, jangan politisi yang meginisiasi !," tandas Emak.

Wah, benar juga sikap Demokrat. Soal silaturahmi, rapat merapat posisi, tunggu sampai proses Pemilu selesai. Seperti premis awal, semua serba mungkin setelah proses pemilu selesai. Kalau saat ini, salah satu kubu terlihat proaktif untuk membangun silaturahmi dan menyerukan rekonsiliasi, pun bisa multiinterpretasi. Publik sah-sah saja menafsir kubu anu berkomitmen islah, tapi kubu sebelah ogah.

Atau, bisa juga menganggap tawaran silaturahmi yang terlalu dini itu tak lebih dari ikhtiar memperkuat posisi moral dengan narasi-narasinya. Sebuah narasi memenangi opini sebagai pemenang pemilu sekaligus pada jarum jam yang sama mendegradasi lawannya di hadapan publik.

Agh, itukan cuma opini, terlalu pesimistis, su'udzon amat," jawab mereka. Ya memang, ini opini, sama seperti ungkapan ingin silaturahmi disimpulkan sebagai komitmen berekonsiliasi, itu pun narasi. Nyatanya, mereka bertepuk tangan hanya karena acara makan bersama usai pelantikan Gubernur Maluku, antara Jokowi dan Zulkifli Hasan, sembari ramai-ramai berujar: PAN merapat ke kita, atau Prabowo Kian ditinggalkan pendukungnya, dan narasi-narasi lainnya.

Narasi itu justru ibarat cletukan spontan alam bawah sadar, bahwa jangan-jangan mereka atau bahkan kita sebetulnya tak benar-benar membutuhkan rekonesiliasi, tetapi hanya ingin mengunggulkan 'aku' dan menjatuhkan 'kamu'.

Maka lebih baik jujur, meski sulit mengharapkan itu dari politisi. Karena batasnya kian samar antara rekonsiliasi atau negosiasi. Ada baiknya mengamini sikap Partai Demokrat, tunggu saja sampai proses pemilu selesai. Percayalah, rakyat kita mencintai damai dan tak menginginkan perseteruan. Mudah, bukan? ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun