Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Korupsi, Tabiat Tamak, dan Mentalitas Puasa

17 Mei 2018   01:00 Diperbarui: 17 Mei 2018   01:08 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

SEJAK kapan perilaku koruptif dilakukan manusia? Kita tak pernah benar-benar tahu. Tetapi kalau korupsi kita sepakati sebagai bagian dari watak tamak yang secara potensi melekat dalam diri manusia, barangkali gejalanya telah ada sejak fase awal kehidupan nenek moyang manusia, Adam dan Hawa, bahkan saat keduanya masih mendiami tanah surga.

Secara umum, kisah itu telah dinubuwatkan dalam kitab suci agama samawi, tidak hanya Alquran, tetapi juga injil. Bahwa kesalahan atau dosa pertama yang dilakukan umat manusia adalah saat Nabi Adam bersama Hawa melanggar satu-satunya larangan Tuhan atasnya, yakni mendekati pohon khuldi. Alquran antara lain mengisahkan drama itu dalam QS. Albaqarah: 35-37;

Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (35) Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan". (36) Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(37) (QS. Al-Baqarah: 35-37)

Di tanah surga itu, Tuhan telah mencukupkan segala apa yang dibutuhkan Nabi Adam beserta Hawa. Mungkin jutaan makanan, minuman, dan buah-buahan disediakan untuk keduanya. Dari jutaan itu, Allah hanya meminta satu yang tak boleh disentuh, mendekatpun terlarang. Tapi pertahanan Adam pada akhirnya jebol juga, dia penasaran terhadap apa yang dilarang. Inilah tabiat manusia yang karena kecenderungan to have, lantas gelap mata. Yang dipikirkan apa yang belum dimiliki, lupa betapa banyak yang telah dipunyai.

Adam khilaf dan tergoda, sehingga karena perilakunya itu mereka berdua terusir dari surga ke bumi. Dalam keyakinan teologis umat Muslim, turun dan menetapnya Adam-Hawa beserta keturunannya di bumi tentu saja menjadi bagian dari skenario yang telah tertuliskan di lauful mahfudz. Tetapi ada hikmah yang bisa dipetik umat manusiia atas peristiwa besar yang dialami nenek moyangnya itu.

Salah satu pelajaran penting itu adalah tentang tabiat potensial dalam diri manusia yang tamak. Merasa tak puas dengan apa yang ada, selalu kurang terhadap apa yang telah dimilikinya. Tabiat tamak itu hakikatnya adalah wujud ketidakmampuan manusia untuk mengontrol dan mengendalikan keinginannya, nafs, personal desire. Keinginan adalah lorong panjang tanpa ujung. Naluri berkeinginan ini tak pernah ada habisnya.

Maka tidakk heran, seorang pejabat atau politisi yang diketahui luas memiliki aset hingga puluhan atau bahkan ratusan miliar masih kober melakukan korupsi uang ratusan juta. Publik mungkin kaget, seorang yang sudah kaya raya tertangkap tangan KPK menerima suap dengan nilai yang hanya Rp 100 juta. ya, itulah tabiat tamak. Semisal seorang lelaki yang telah memiliki istri teramat cantik, tetapi tetap menginginii perempuan lainnya yang mungkin kalah cantik dari istrinya.

Kekayaan tak memberi jaminan apapun terhadap terhindarnya seseorang dari tindakan koruptif. Maka asumsi yang menganggap pejabat korupsi karena kesejahteraannya minim tak bisa dipertahankan. Tabiat tamak ini dilukiskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra dengan cukup indah.

"Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat." (Muttafaqun 'alaih. HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048)

Nafsu memiliki yang dipunyai manusia tak akan pernah ada habisnya, selalu ingin lagi dan lagi. Keinginan bahkan unstoppable, sehingga yang bisa menyudahinya, kata Nabi saw, hanyalah tanah (kematian).  

Karena liarnya, keinginan bahkan dalam banyak kajian spiritual sering dianggap sebagai sumber penderitaan. Mungkin seperti halnya Adam dan Hawa yang terusir dari tanah keabadian surga ke bumi yang fana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun