Mohon tunggu...
Saya Asaf
Saya Asaf Mohon Tunggu... Lainnya - Let's Talk!

Asaf. Makhluk aneh yang terjebak di Bumi, berasal dari planet Listrik Tegangan Tinggi. Di Bumi, ia merepresentasikan dirinya sebagai Sang Singa, survival penembus batas. Asaf menghabiskan waktunya dan tinggal di Classical Castle dalam frekuensi 0,00. Gelombang yang sulit ditemui manusia pada umumnya. Bagi Asaf, seni adalah nyawa. Sedang sastra, ialah penyambung jiwa. Untuk berkomunikasi dengannya, sila kunjungi galeri pribadi rasa publik-nya di instagram dengan nama pengguna @sayasaf. Asaf meyakini bahwa masa dapat melumpuhkan ingatan, dan tulisan dapat kembali mengingatkan. Oleh karenanya, ia berinisiatif ‘tuk merekam segala perjalanan. Segala pemikirannya dapat diakses dalam blog pribadinya, sayasaf.blogspot.com. Salve! Salam, listrik! Demikian sapaan, serta caranya ‘menyengat’ sesama.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berakar Seni, Lahirkan Tunas Literasi

3 November 2020   13:22 Diperbarui: 3 November 2020   16:12 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berawal dari 2019 silam, tidak sengaja saya membaca salah satu website terbaik yang pernah saya temui. Website tersebut memperkenalkan sebuah komunitas tari berbasis inklusi. 

Hal ini berarti siapa saja dapat menjadi bagian dari komunitas tersebut. Mulai dari anak-anak, remaja, bahkan orang tua. Tak hanya itu, bahkan saudara-saudara kita yang difabel pun dapat menjadi keluarga dan mengikuti segala aktivitas komunitas dengan nyaman.

Demikian link website (https://nalitari.org/) yang beberapa waktu lalu membuat hati saya tergetar saat mengunjungi lamannya. Saya berinisiatif untuk mencarinya di salah satu platform sosial media, instagram. 

Hati saya kembali tersentuh melihat beberapa rekam kegiatan yang dilakukan bersama dengan teman-teman difabel. Kegiatan tersebut terlihat seperti nyaman, menyenangkan, dan seperti menyampaikan pesan kesetaraan.

Kurang lebih dua minggu setelah saya banyak mencari informasi tentang komunitas ini, saya menemukan sebuah agenda yang akan diadakan dalam jangka waktu satu minggu. 

Workshop Nalitari: Tari Inklusi. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, tanpa basa-basi saya segera mendaftarkan diri. Lagi, saya merasa tenggelam dalam lautan manis kesetaraan saat mengikuti kegiatannya.

Workshop tari inklusi tersebut mengajarkan saya banyak hal. Seketika saya bertanya-tanya, "Ke mana saja selama ini? Apa yang selama ini saya lalui? Berproses soal apa? Bersikap untuk hal apa?"

Tertampar sekali setelah mengetahui bahwa masih banyak orang-orang yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, tapi benar-benar memperjuangkan jua hak-hak yang lain, menyelamatkan sesama daripada marginalisasi sistem tak kasat mata.

PERMATA DI TENGAH LAUT ANGKARA

Layaknya menemu oase di padang pasir, kurang lebih demikianlah perasaan menemu Nalitari. PDKT (pendekatan) saya tidak hanya berujung pada pengenalan, tetapi berangsur-angsur membangun cinta pada ruang lingkup inklusi. Hal yang selama ini sama sekali belum pernah saya lirik sedikit pun. Nalitari memupuk inklusivitas pada diri saya.

Berangkat dari kesadaran inklusif tersebut, seketika segala definisi "normal" yang ada di kepala pun memuai. Ternyata, "normal" tidak tentang kulit yang putih, tubuh yang semampai, pipi yang tirus, bola mata yang bulat, bibir yang merona, kaki yang indah, lengan tanpa lemak berlebih, dan sebagainya. Tidak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun