"Lo, cantik banget."
Kupikir, semesta sedang berhenti. Selaksa dunia mendadak sunyi saat sepasang obisidian itu, menatapku lekat tak tahu diri. Rasanya, semua sel di akalku berhenti berfungsi. Kecuali pacu jantungku, yang entah bagaimana berapi-api.
"Eh, maksud gue, lo biasanya cantik. Selalu cantik. Gue pikir yang udah-udah itu yang paling cantik. Ternyata masih bisa lebih cantik dan bikin pangling. Serius. Engga ngotak tahu engga, cantiknya!"
Dan, serangkai tawa yang lolos dari wajah itu masih bisa membuat dadaku menghangat. Melonggarkan kemudi asa yang sudah kututup rapat-rapat hanya untuk seringaian tampan yang tak bermanfaat. Jika terus begini, apa semua sinyal di otakku benar-benar tak boleh berpendapat?
"Tumben bener." jawabku abai. Melupakan kekacauan mendadak di hatiku yang damai. "Lo kesamber apa ampe muji bertubi-tubi gitu?"
Lalu, kau menatapku syahdu. Entah apa maksud kilau di netramu. Tanpa terasa, napasku memburu. Mencoba mencari rongga di labirin kenangan yang buntu. Ingin mengutukmu.
"Cuman pengen lo tahu. Kalau di mata gue, lo cantiknya ampun-ampunan, tau."
Terkadang, waktu memang tidak sopan. Berbuku detik, frasa, dan cinta kemarin hari masih tersimpan. Terbungkus di karung harapan tanpa mungkin dilontarkan. Tolong, Tuhan. Biarkan aku teguh dan bertahan.
Kuharap momen ini hanyalah sketsa, tetapi teduh senyummu sangat nyata. Kupu-kupu di perutku sekarang begitu menyiksa, menebar luka.Â
Dan begitu pintu di sana terbuka, rasanya lebih perih ketika mendadak senyummu terkulum, dihempas realita.Â