Menyedihkan, bukan?
Saat hati diombang-ambing kenyataan, mengoyak ganas harapan, mata dipeluk kepalsuan. Lantas, ketika rasa sakitnya keterlaluan, kau terjatuh jauh ke hutan lebat bernama kegelapan.
Pasti sulit, iya kan?
Seakan kaki tergelincir dari tebing terjal cadas perbukitan, atau tenggelam tak berdaya di lautan. Sesak ingin bersuara, nada hanya menjadi buih di udara. Hati rapuh bagai kaca yang retak, lalu hancur menjadi abu tak bersisa. Saat mengingat waktu, sudah berapa lama?
Pasti tersiksa.
Mimpi buruk berfantasi lari ke ujung dunia.
Pedihnya tak tergambar kata.
Mendengarnya seperti berita yang berlalu begitu saja.
Bersembunyi dari mentari, mencoba mengelabui bulan. Ingin menghasut angin, pun memaki hujan. Pendam marah ingin berteriak, pun ingin dimaafkan. Kau ingin lari, pun ingin bertahan.
Ingin dimaafkan, ingin bertahan.
Jangan sendiri, temani.
Ingin dimaafkan, ingin bertahan.
Jangan sendiri, temani.
Seperti riak air oleh batu yang dilempar ke danau yang tenang.
Seperti ribuan hitam menggapaimu, menarik dalam bayang-bayang.
Saat sunyi, ia berbisik di telingamu, dunia menjadi beku.
Menyuruhmu menanggalkan hidupmu. Apa yang mereka tahu?
Taman itu dipenuhi kunang-kunang.
Kerlap-kerlip cahaya bergelombang.
Air mata memerihkan mata yang remang.
Kamboja bersemi di sana, melambai, mengundang.
Kau menyingkir ke sudut ruang. Mengangkat lutut lantas membenamkan wajah dalam-dalam. Gemetar tubuh dingin keringat menguar. Kepala dihujani ribuan memori seakan menuntut balasan. Terluka, tersiksa, terlupa, hampa. Mimpi buruk mengusik dunia.
Apa yang masih tersisa?
[Saning bakar, Solok, 23 Juni 2021]