"Lihat! Bulan mengikuti kita."
Seperti bocah kecil dengan permen kapasnya.
Sumringah wajahmu melepas tawa.
Kau berlari kecil di setapak taman kota.
Binar mata menggetar jiwa, kau menunjuk angkasa.
Aku berkata, "Bukankah kau tahu hukum fisika?"
"Kita lah yang bergerak, bulan teguh di tahtanya."
Kau berdecak, terkekeh, kerlingkan mata.
"Oh kawan, ayolah. Anggap saja bulan menghibur kita."
Lalu kau berbalik. Berlari lagi. Tertawa lagi.
Dan aku diam mengernyitkan dahi.
Sepintas lalu, ku dengar setiap mata mengagumimu.
Bilang, "Si cantik nan periang itu mengusir lara dan semu."
"Kehadirannya memantapkan rindu, menenangkan kalbu."
"Namun, kenapa ia berkawan dengan bocah gila itu?"
Aneh sekali. Aku pun tak mengerti.
Bahkan bagiku, si kawan adalah teka-teki.
Takar akal dan rasa seakan berhenti berfungsi.
Tak pernah lidah meminta, ia datang lagi dan lagi.
"Kawan, apa yang kau pikirkan?"
Di sekitarku, telisik dedaunan memainkan perasaan.
Cemas wajahmu membaca gelagatku yang tenggelam dalam urungan.
Tatapanmu menelitiku seperti tebak-tebakan.
Sedang aku, diam oleh berisik akal mencari pemahaman.
Kau... Terlalu baik.
Kehadiranmu seperti air menebus dahaga.
Kemanapun kau pergi, orang-orang bersuka cita.
Kita jelas hidup di dunia yang berbeda.
Jadi, mengapa kau di sini bersama orang gila?"
Sepoi angin menggugah rasa yang dalam.
Kutarik tanganku yang erat kau genggam.
Kau mengedip, terkesiap tak paham.
Pada saat itu, semesta pun seakan ikut terdiam.
"Apa kau mengasihaniku?"
[Saning bakar, Solok, 9 Juni 2021]