Mohon tunggu...
Mega Trianasari
Mega Trianasari Mohon Tunggu... lainnya -

Suka menulis dan berkhayal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bekas Gincu Merah Darah

7 September 2013   15:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:13 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_277065" align="aligncenter" width="300" caption="kissing the police"][/caption]

There is some kiss we want with our whole lives, the touch of Spirit on the body.

Seawater begs the pearl to break its shell.

And the lily, how passionately it needs some wild Darling!

(Some kiss we want – Rumi)

Aku tak bisa lupakan hari itu…..

Ketika Ia meninggalkan jejak gincu berwarna merah darah. Aneh, itu adalah kecupan pertama seumur hidupku.

Kecupan yang aneh, karena membekas di kaca helm polisi anti huru hara yang aku kenakan.

Kecupan yang aneh karena dilakukan ketika pasukan kami sedang berhadapan dengan amuk masa.

Kecupan yang aneh, karena di lakukan di tengah lemparan batu, telur busuk, tomat busuk dan kata-kata busuk.

Kejadian itu begitu cepat. Beberapa detik. Namun aku mengingat kejadian itu hampir selamanya. Iya, hampir selamanya.

Momen itu terus berulang-ulang dalam ingatanku. Sudah seminggu, wajah gadis bergincu merah darah itu, terus menari-nari di depan kaca helmku.

Sosok yang ringan bagai bulu angsa. Aku hampir menangis melihat sosoknya.  Memang banci kedengaranya. Seorang prajurit yang mengenakan baju zirah anti peluru, hampir menangis karena melihat gadis.

Ketika itu,  Ia mengenakan flannel berwarna lembayung. Celana jins berwarna biru tua dan ikat kepala dari kepangan benang woll warna warni. Rambutnya ikal mayang sebahu tergerai liar. Wajahnya ayu. Kulitnya yang cokelat tropis tersorot matahari senja.

Aku lumpuh dibuatnya. Meski kecupanya tidak didaratkan di bibirku yang kering karena kehausan.

Sudah seminggu ini, sosok gadis bergincu merah darah menjadi pusat perhatian. Foto ketika ia mengecup kaca helmku beredar di segala bentuk media. Menjadi berita utama. Ada yang memberinya judul sebagai Kecupan Kritis. Ada yang mendramatisirnya sebagai Bunga Revolusi

Nama gadis yang mengecup kaca helmku itu ternyata Camelia. Dan aku tak mau memberi tahu siapa namaku.

Camelia sudah seminggu menjadi primadona media. Selain pandai mengecup. Ia juga pandai berorasi. Beberapa kali ia naik ke atas podium untuk berorasi. Tepatnya mengutuk.

Pihak pro pemerintah dikutuk oleh kritiknya. Aku dikutuk oleh kecupannya. Semenjak kecupan itu, aku diam-diam membenci negara. Membenci dalam hati. Perih rasanya. Goresan rasa bersalah karena berkhianat, makin bertumbuh dalam hatiku yang seharusnya membesi.

Dia menjadi makin bersinar, makin dicintai, oleh rakyat pemihak oposan dan olehku. Laki-laki biasa yang terbungkus dalam baju zirah polisi pegendali huru-hara.

Ini kisah yang tak biasa bagi hidupku. Cinta pertamaku adalah seorang demonstran. Cinta terlarang. Mana boleh polisi jatuh cinta pada demonstran perusuh. Yang membuat gerak ekonomi tak melaju dengan lincah. Yang membuat ibuku di rumah, merutuki demonstran tiap hari, karena membuat pasar-pasar tidak buka. Namun ibuku tidak tahu, salah satu dari mereka kini merusuhi hati anak laki-lakinya.

Sudah seminggu ini aku dijadikan tumbal negara. Seperti yang kau sudah ketahui, anak muda adalah tumbal zaman. Tidak hanya pengubah zaman. Anak muda selalu memaksa perubahan. Apalagi jika keadaan dikuasai orang tua besar kepala, yang bertingkah seperti raja yang tak akan pernah mati.

Anak muda tidak selalu jadi motor penggerak zaman. Ada pula yang bertindak sebagai rintanganya. Seperti yang para demonstran katakan itu. Aku dan pasukanku yang berjumlah ratusan, dikatakan sebagai pengkhianat. Sisa rezim lapuk bertangan besi. Bhayangkari penjaga kekuasaan.

Kami prajurit muda yang sudah disumpah untuk membela negara, dicap sebagai pembela rezim. Kami disamakan dengan rekan kami yang menjaga lalu lintas. Pelacur hukum. Memeras uang rakyat lewat supremasi seragam. Tidak, kami tidak seperti itu.

*****

Kondisi lokasi demonstrasi semakin mencekam, di hari ke tujuh. Mencekam karena aksi diam. Demonstran pro pemerintah terdesak oleh barisan oposan yang menggelar aksi tutup mulut. Beberapa dari mereka ada yang menjahit  mulutnya. Sumpah mati, mereka lebih menakutkan ketika diam. Kami mencurigai, dalam diam, mereka memegang bom di tanganya. Bom sungguhan, bukan bom telur busuk.

Kecurigaan adalah reaksi dari aksi diam. Komandan meminta kami segera menggeledah demonstran yang sedang melakukan aksi diam. Mungkin ia sepikiran denganku. Menganalogikan aksi diamnya demonstran oposan, seperti aksi diamnya merapi. Atau aksi diamnya perempuan. Memendam ledakan. Tangan mereka mungkin sedang menggenggam bahan peledak.

Seorang prajurit yang sudah bosan dijadikan tumbal, melakukan aksi pemeriksaan secara berlebihan. Ia dorong salah seorang demonstran. Ia paksa lengan demonstran itu dilipat di pinggang. Mulut demonstran yang terjahit itu mengeluarkan rintihan.

Masa pun geram. Pasukan naik pitam. Tembakan pun dilepaskan. Kosentrasi masa menjadi tak  beraturan.  Ada yang tetap di tempat. Ada yang berlari ke arah perempatan. Ada pula yang jatuh dan terinjak masa yang berhamburan. Demonstran  pembela pemerintah masuk ke dalam barisan musuh. Baku hantam tak terelakan.

Seketika aku teringat dengan gadis bergincu merah darah, Camelia, adakah dia di tengah barisan masa yang berantakan itu? Gadis yang ringan seperti bulu angsa. Yang terlihat gagah di atas podium. Belum tentu gagah di tengah perang. Secara teknis ini perang. Tembakan dilepaskan ke udara. Camelia terlihat berlarian di garis depan. Ia seperti kijang kencana. Ringan. Langkahnya ringan.

Beberapa detik kemudian,  Camelia hilang dari pandangan...

Tak hanya manusia yang berlarian. Peluru karet dan juga sebagian tajam berlarian dari mulut senapan. Ke segala arah. Tanpa arah. Prajurit ditambahkan, mereka tentara. Situasi dinaikan kadarnya menjadi darurat militer. Derap suara sepatu lars beradu dengan suara pemukulan.

Teriakan memerintah untuk menembaki masa dibalas dengan teriakan kesakitan.

Pandanganku menjadi keruh. Keruh karena asap gas air mata dan asap senapan. Bom Molotov juga meramaikan perang malam ini. Kami pasukan yang terdiri dari pemuda-pemuda ingusan diperintah mundur. Dipindahkan dari medan pertempuran untuk membantu tentara menjaga istana negara, menjadi lapisan paling luar. Anak bawang tumbal negara.

Sebagian dari diriku ingin keluar dari seragam terkutuk ini. Pergi menyelamatkan Camelia. Membawanya dari pertempuran yang setara dengan pertempuran di Kurukshetra. Membawanya ke tempat paling aman. Menikahinya. Namun kakiku tertahan oleh sumpah sapta marga nomor enam, yaitu mengutamakan keperwiraan di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa.

Saat itu wajah Camelia menari-nari di depan kaca helmku. Kecupannya. Wajah cantiknya. Matanya yang terpejam saat mengecup kaca helmku.

Ia memang tak mengecup bibirku yang kering karena kehausan, tapi Ia sudah mengecup jiwaku. Mengecup hidupku dan mengubah pandanganku, meski aku tak kuasa pergi dari cangkang seragam alat kekuasaan.

Di dalam truk aku tertunduk berdoa. Semoga Camelia masih bisa aku lihat esok pagi. Mekar di bawah sinar matahari di atas podium. Mengutuk presiden, mengutuk negara, mengutuk komandanku dengan kata-kata beracunnya.

Depok, 7 September 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun