Mohon tunggu...
Saut Donatus Manullang
Saut Donatus Manullang Mohon Tunggu... Akuntan - Aku bukan siapa-siapa! Dan tak ingin menjadi seperti siapa-siapa.

Damailah Negeriku!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencantumkan Marga dalam Nama Anak, Mengapa Saya Lakukan?

17 Oktober 2013   13:11 Diperbarui: 12 April 2019   11:05 2992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1381989826430854968

MENCANTUMKAN MARGA DALAM NAMA ANAK, MENGAPA SAYA LAKUKAN?

Bagi suku Batak memang sudah suatu kebiasaan untuk selalu menambahkan marga di belakang nama anaknya. Marga adalah salah satu dari identitas. Dan setiap orang pasti memiliki identitas. Dan saya secara pribadi tak ingin kehilangan identitas. Untuk itu agar identitas terpelihara maka saya juga mencantumkan marga kepada anak saya. Mengenai kekurangan dan kelebihan pencantuman marga, ada benarnya. Namun bukan berarti tidak mencantumkan marga yang menonjol hanya kelebihannya. Secara objektif pribadi seseorang dinilai bukan dari marga, suku atau agamanya.

Berikut alasan mengapa kami mencantumkan marga di belakang nama anak kami. 

1. Anak mengenal identitas dirinya. Di sadari atau tidak, sudah banyak bagian dari adat istiadat dan budaya kita yang tergerus oleh modernisasi bahkan hilang sama sekali. Dengan memberi marga, diharapkan anak saya mengetahui siapa dia, silsilahnya, asal muasalnya, sejarah nenek moyangnya. Hampir setiap marga memiliki silsilah "tarombo" kekerabatan marganya yang turun-temurun. Misalnya marga saya adalah MANULLANG, saya adalah keturunan ke-15 dari marga Manullang. Artinya saya keturunan ke-15 dari Kakek moyang saya yang bernama Manullang. Dan saya memimiliki catatan dan bagan yang menggambarkan siapa saja nama-nama kakek buyut saya dan sejarahnya. Nah, gambar silsilah ini akan saya teruskan kepada anak saya yang merupakan keturunan ke-16. Di harapkan dia akan menggali budayanya dengan sendiri.

2. Tidak tersesat dalam 'tutur' (sistem kekerabatan). Budaya batak mengenal sistem kekerabatan dalam marga sendiri dan marga-marga keluarga lain. Selain keluarga inti, ada untuk sebutan Oppung, Namboru, Uda, Nantulang, Tulang, Eda, Lae, dll. Panggilan ini tentu memiliki makna masing-masing. Diharapkan anak saya tidak tersesat dalam setiap pemanggilan. Dalam menjalankan suatu ritual/upacara batak/pesta, diharapkan kelak anak saya tidak salah dalam menempatkan diri. Dalam suku batak hal ini sangat penting.

3.Dengan pemberian marga, anak akan lebih mencintai nilai-nilai budayanya. Dengan melekatkan marga pada namanya, untuk lebih mendekatkan anak kepada budaya leluhurnya. Ini sudah terjadi ratusan tahun.

4. Penyebutan marga akan lebih mempererat rasa persaudaraan. Setiap marga, pasti memiliki suatu wadah silahturahmi hampir di seluruh dunia. Biasanya dalam bentuk Perkumpulan atau paguyuban. Misalnya "Punguan Manullang se-Dunia", Punguan Manullang se Jabodetabek,se-Indonesia, se-Jakarta atau wilayah masing-masing. Bahkan di luar negeri juga secara regional. Setiap perkumpulan memiliki struktur layaknya sebuah organisasi. Tak jarang dalam perkumpulan ini akan menumbuhkan rasa saling tolong-menolong di kala ada kerabat yang kesusahan. Khususnya pada saat ada keluarga yang meninggal. Akan banyak sekali orang-orang batak yang berkunjung, sampai-sampai harus mendirikan tenda. Dan area parkiran tak akan cukup menampung kendaraan para pelayat.

Jadi 4 poin di atas hanya sedikit dari banyak alasan pencantuman marga bagi anak saya. Bagi pembaca bersuku Batak dan memahami budaya batak akan mengerti, pembaca di luar suku batak mungkin akan banyak bingungnya membaca alasan di atas. Bisa dimaklumi. Hehehehhe TANGGAPAN ATAS TULISAN BAPAK Rahmad Agus Koto di sini.

1. Praduga Saat Baru Kenalan. "Beliau berpendapat bahwa selalu ada stigmatisasi mengenai kelebihan dan kekurangan karakter suku tertentu." Saya setuju, dengan catatan ini berlaku untuk semua suku, bukan hanya untuk mereka yang memiliki marga. Contoh jawa,sunda,ambon,papua, palembang dll. Semua suku punya stigma baik dan buruknya. Jika dikatakan hanya berlaku bagi mereka yang mencantumkan marga, saya kurang sependapat. Cenderung tidak objektif. Seolah-olah dengan tidak menyebutkan marga saat kenalan, maka saya akan terhindar dari penilaian subjektif orang tersebut. Padahal umumnya orang indonesia jika berkenalan ujung-ujungnya pasti menanyakan asal dan daerah. Tetap aja ketahuan. hahaha..

2. Stigma Negatif Terhadap Suku "Beliau berpendapat bahwa stigma negatif terhadap suatu suku terbentuk dari tokoh-tokoh koruptor yang menyebutkan nama dan disertai marganya." Loh, emangnya semua koruptor itu punya marga? Seperti yang saya utarakan sebelumnya, ini adalah penilain yang tidak objektif. Kalau dihitung, berapa persen mereka yang memiliki marga sebagai koruptor dengan koruptor yang bukan memiliki marga? Banyak juga tokoh-tokoh 'bermarga' yang tidak tersangkut koruptor. Tidak baik beranggapan bahwa koruptor yang disorot di media adalah representasi perilaku dari semua orang yang bersuku yang sama. Alamak jang....!

3. Efek Positif dan Negatif Nepotisme. Jika bicara Nepotisme, tidak selalu mereka yang bermarga cenderung melakukan nepotisme. Mungkin kita pernah baca anekdot, pimpinan bersuku Sunda maka jajarannya akan banyak suku Sunda. Jika pimpinan batak, pegawainya banyak batak, jika pimpinan jawa, maka suku jawa akan lebih dipercaya sebagai pegawainya. Hal semacam ini saya tak asing lagi bagi kita. Bahkan orang jepang juga lebih kental nepotismenya. Jadi bukan hanya kebiasan yang punya marga saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun