Mohon tunggu...
Saomi Rizqiyanto
Saomi Rizqiyanto Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

A blogger who loves fashion, food and culture, studying American Studies at University of Indonesia. Read everything about America in here www.theamericanist.web.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Snowden dan WikiLeaks, Whistleblower Sebagai Pilar Kelima Demokrasi

18 November 2013   10:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BISA dibayangkan akan sekuat apa suatu negara jika demokrasi negara tersebut memiliki pilar kelima sebagai pengawas dari jalannya pemerintahan. Atau mungkin menjadi tidak berdaya, setelah eksekutif diawasi oleh legislatif, yudikatif, dan media, lalu baru-baru ini ditambah oleh agen-agen pembocor rahasia atau whistleblower.

Rasanya masih segar di ingatan kita Secretary of State Pemerintahan Presiden Barack Obama periode pertama, Hilary Rodham Clinton dibuat gusar oleh aksi para peretas WikiLeaks yang membocorkan kawat diplomatik rahasia yang mengguncang politik dunia medio 2011 yang lalu. Berbagai negara, termasuk Indonesia menjadi korban dari bocornya kawat diplomatik Amerika Serikat.
Hilary yang dalam beberapa polling terakhir disebut-sebut bakalan menjadi kandidat kuat pengganti Obama dari partai Demokrat itu buru-buru menyambangi berbagai negara sekutu untuk memastikan bahwa hubungan AS dengan negara-negara sekutu akan tetap baik-baik saja.
Istri dari mantan Presiden Bill Clinton ini geram, melalui jaringan spionase AS, negeri Paman Sam itu mengejar pentolan WikiLeaks, Julian Assenge untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hasilnya Assenge kini menjadi tahanan rumah di swedia, aktivitas politiknya dibatasi, hanya saja hingga kini, di mana letak basecamp wikileaks belum bisa diketahui.
Beda tipis dengan Assenge, namun beda nasib. Seorang kontraktor National Security Agency yang juga mantan pegawai CIA berusia 29 tahun, bernama Edward Snowden menggegerkan dunia dengan membocorkan data-data spionase NSA dan CIA ke ranah publik, terutama media. Well aksinya ini nyata-nyata membuat pemerintahan Barack Obama kalang kabut, direktur NSA Keith Alexander dibuat migrain dalam beberapa bulan terakhir ini.
Seperti biasa, untuk mengejar Edward, AS membuat ultimatum, siapa saja atau negara manapun yang melindungi Edward akan memiliki konsekuensi ekonomi dan politik yang serius dengan Amerika Serikat. Pintarnya Snowden, ia memilih Rusia sebagai negara yang akan memberinya suaka politik.
Vladimir Putin, orang yang baru-baru ini dinobatkan sebagai manusia paling berpengaruh versi Forbes juga tak kalah licin, memanfaatkan Snowden untuk kepentingan Russia adalah tujuan utamanya, sehingga dengan mudah ia mengabulkan permohonan suaka politik bagi Snowden. Walaupun laiknya politikus bedebah lainnya, dengan tanpa malu berkoar di media Snowden harus meninggalkan Russia dan berakting memikat dengan mengatung-ngatungkan nasib Snowden di bandara Russia. Toh permohonan itu ditandatanganinya juga.
Drama Assange, Snowden dan ada lagi satu kasus pembocoran oleh tentara AS, Chelsea Manning, nyata-nyata membuat publik terhenyak dan bertanya-tanya ada apa sih dengan praktik diplomatik Amerika Serikat dewasa ini, hingga membuat warga atau mungkin sekutunya berbalik arah menyerang dan membuka aib negara nya sendiri.
Snowden dalam beberapa kali pernyataannya yang dibuat di negeri tirai besi itu menyatakan “merasa malu dengan praktik penyadapan yang dilakukan oleh negaranya yang cendeung menggunakan segala cara, bahkan untuk mendapatkan informasi dari warga negaranya sendiri” suatu hal yang jikalau ditarik benang merahnya dengan Assenge dan Manning memiliki keterkaitan alasan yang sama.
Barangkali, perbuatan para whistleblower ini membuat warga Amerika Serikat tersadar atau mungkin the rest of the world mengakui, mereka butuh para pembocor rahasia, agar suatu kelompok manusia tidak memperdaya kelompok manusia yang lain.
Jikalau dulu, suatu pemerintahan agar berjalan efektif dan memiliki pengawasan yang seimbang hanya membutuhkan the fourth estate, pilar ke empat, yakni media yang berfungsi sebagai anjing penjaga atau The Watchdog, ternyata warga masih butuh peran lain yang lebih berani dalam membongkar praktik busuk suatu pemerintahan. Apalagi kini peran media sepertinya sudah mulai menjadi the lapdog, anjing kesayangan yang sensitifitas kritisnya sudah tumpul akibat terlalu dekat dengan penguasa dan satu lagi memiliki business profit oriented, sehinnga peran media sepertinya sudah mulai pudar.
Nah peranan the whistleblower diharapkan akan menjadi the fifth estate atau pilar kelima dalam penegakan demokrasi suatu pemerintahan sehingga berjalan efektif. Istilah the fifth estate sendiri muncul bukan dari kalangan akademisi pengamat pemerintahan, namun muncul dari sineas Bill Condon yang mencoba memotret kehidupan Julian Assenge pasca munculnya kasus WikiLeaks yang fenomenal itu.
Walaupun film The Fifth  Estate sendiri rugi (modal 28 Million US$ namun hanya mampu mengumpulkan US$ 6 Million di pemutaran perdananya) tapi toh cukup membuat kita bertanya, apakan pilar kelima ini mampu membuat pemerintahan berjalan efektif?
Bagi warga biasa jawabannya bisa jadi “YA” tapi bagi Secretary of State John Kerry hingga Direktur NSA Keith Alexander “TIDAK” itu hanya membuat mereka migrain berminggu-minggu.[]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun