Mohon tunggu...
Saufi Hamzah
Saufi Hamzah Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswa akhir yang mengisi waktu luangnya dengan menjelajahi dunia baru, dan sesekali membual sana-sini

* Perindu Nabi * Pecinta Kyai * Pengagum Sufi * Sebulir bibit yang sedang bermetamorfosis menjadi pohon yang baik, mengayomi, dan memberikan manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Memoar: Kabar Dari Langit (1)

8 April 2020   22:25 Diperbarui: 10 April 2020   21:05 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seketika telpon ia matikan. Tanpa mengucap sepatah kata pun. 

Lunglailah sekujur tubuhnya, dilepasnya baju yang dikenakan dan dibenamkan wajahnya dalam-dalam lalu menangis sejadi-jadinya. Tak ingin tangisnya terdengar teman serumahnya. Ia sebenarnya tak pandai menangis, namun hanya itu kemampuannya,  menangis sekuat dan semampu dia bisa. Ia kalap dalam kubangan kedukaan.

Kabar dari langit telah berubah dalam bentuk yang lain. Kabar langit yang seketika bergerak di bawah garis kun fayakun dalam kuasa ketetapan-Nya. Sedangkan ibu dan bibinya adalah pembawa pesan kabar langit itu kepadanya.

Dengan sisa-sisa kesadaran dan kekuatan yang ada, Torun mencoba menengadah dengan tegar lalu memanjatkan doa.

"Ya Allah... ampunilah nenek hamba, rahmatilah dia, bebaskan dan maafkanlah dia"  ia terisak dan suaranya seakan tertelan tangisnya

"Ya Allah... muliakanlah tempatnya, luaskanlah kuburnya, dan mandikanlah dia dengan air, salju, dan es. Bersihkanlah dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju putih dari kotoran. Berikanlah dia rumah yang lebih baik dari rumahnya di dunia. keluarga yang lebih baik dari keluarganya di dunia, pasangan yang lebih baik dari pasangannya di dunia. Dan masukkanlah dia ke dalam surga dan lndungilah dia dari siksa kubur dan siksa neraka"

Kembali dibenamkannya wajahnya di baju itu. Tangisnya sudah mulai mereda. Terik siang yang memancarkan kesedihan, kemarahan, dan penyesalan.

Ia telah kehilangan pujaan hatinya, tanpa sempat mengucapkan bahasa perpisahan yang dalam, tanpa kecupan untuk terakhir kalinya, tanpa sempat mengantarkannya pada peristirahatan yang hakiki. Perpisahan yang menyakitkan, taman bunga yang hendak dikunjunginya itu kini seketika layu. Gugur dan berhamburan di awang. Sebuah patah hati tak terperi. Pada siapa lagi aku harus pulang? Rumah rindu mana lagi yang aku alamatkan? Gugatnya. 

Perempuan tua yang menjadi sosok penting dalam sejarah hidupnya telah berpulang ke asal-usulnya yang paling suci, menuju alam kepastian bagi seluruh makhluk yang bernyawa. Ya... Perempuan yang tabah, ikhlas, dan penuh kasih itu kini telah dijemput Sang Kekasih Sejati. Mengahadap keharibaan Dzat yang menjadi sumber segala cinta dan kasih. Dzat yang meruah rahmat-Nya. 

Syahdan, Torun sedikit terhibur mengingat itu. Ia punya keyakinan bahwa neneknya akan baik-baik saja di bawah naungan rahmat Sang Maha Rahman-Rahim. Senyumnya mulai menyabit meski dengan nafas yang berat.

Aku ikhlas Ya Allah. pungkasnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun