Mohon tunggu...
Saufi Hamzah
Saufi Hamzah Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswa akhir yang mengisi waktu luangnya dengan menjelajahi dunia baru, dan sesekali membual sana-sini

* Perindu Nabi * Pecinta Kyai * Pengagum Sufi * Sebulir bibit yang sedang bermetamorfosis menjadi pohon yang baik, mengayomi, dan memberikan manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tren Pop Culture dan Wajah Baru Kekerasan Dunia Pendidikan Indonesia

19 Maret 2020   16:16 Diperbarui: 22 Maret 2020   13:00 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
deviantart.com/ludilozezanje

Oleh karenanya, selain banyaknya para generasi mudah yang menggandrungi pop culture, juga ada barisan baru yang menamai diri mereka sebagai anti-mainstream, yaitu individu atau sekelompok orang yang tidak mau mengikuti tren yang sedang booming. 

Menarik apa yang menjadi kajian Pierre Bourdieu, seorang Sosiolog kenamaan Prancis dalam bukunya Distinction mempopulerkan istilah symbolic violence (kekerasan simbolik).

Pierre Bourdieu mengungkapkan bahwa proses mekanisme dalam melakukan kekerasan simbolik terjadi secara tidak nampak dan terkesan "tersembunyi". Dalam kaitan tulisan yang ringkas ini, kita akan membedah problematika dengan menggunakan perspektif Pierre Bourdieu.

Dalam psikologi pendidikan kita mengenal istilah kekerasan atau bullying verbal, psikis, maupun fisik. Jika kekerasan dalam perspektif psikologi cukup mudah untuk diidentifikasi, berbeda dengan kekerasan simbolik yang bukan saja sukar diidentifikasi, justru dianggap sesuatu yang wajar terjadi. Sehingga mekanisme kekerasan itu diterima sebagai yang memang seharusnya demikian.

Selain mengenalkan konsep kekerasan simbolik, Pierre Bourdieu juga mengenalkan konsepnya yang dikenal dengan Habitus. Habitus dapat dipahami sebagai sistem persepsi, pikiran, dan tindakan. Habitus juga merupakan gaya hidup, nilai-nilai, watak, dan harapan kelompok sosial tertentu.

Apakah Kekerasan simbolik dan Habitus itu dapat kita jumpai di kehidupan sehari-hari kita?

Untuk menjawab itu perlu kiranya kita ambil suatu sampel faktual berupa konten di media sosial yang mengarah dan diduga keras berimplikasi pada kekerasan simbolik di dunia pendidikan.

Belakangan perilaku pop culture yang akrab kita temui adalah konten video tren di beberapa platform media sosial yang bertema "Private School Check", "University Check", "Fakulty Check" yang bermaksud menjelaskan "realitas" pendidikan para anak didik di sekolahnya masing-masing. 

Pendidikan yang semula sebagai wadah mengembangkan potensi diri bergeser ke sesuatu yang lebih bergengsi. Padahal tidak semua orang dapat mengakses pendidikan tinggi terlebih di sekolah atau universitas ternama yang notabene mahal. Bahkan ada yang tidak punya peluang sama sekali.

Ada juga konten serupa namun berbeda tema, yaitu "alasan cowo ngga mau sama gue", "alasan cewe ngga mau sama gue" yang kurang lebih sama motifnya, hanya saja yang terakhir ini ingin menggambarkan status kelas kehidupannya di lingkungan rumah. mungkin ini yang disebut oleh jamak generasi sekarang sebagai "merendah untuk meroket", atau menegaskan status sosialnya untuk mengesani orang lain bahwa dirinya masih belum cukup "royal" di banding pusaran lingkungan pertemanan atau lingkungannya.

Dalam membelah femonema pop culture yang kaitannya dengan kekerasan simbolik di atas, rupanya ada dua faktor yang digunakan untuk memuluskan mekanisme kekerasan simboliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun