Mohon tunggu...
Satya Utta
Satya Utta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis untuk tugas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia Harmonis dari Perspektif Generasi Milenial Indonesia

3 November 2022   23:02 Diperbarui: 3 November 2022   23:07 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apa yang terlintas dalam benak anda saat mendengar kata keberagaman? Indah, berbeda-beda, ramai, atau sukar menyatu? Masyarakat Indonesia lekat dengan konsep keberagaman. Bentuk negara Indonesia yang berkepulauan mengakibatkan banyaknya tercipta keberagaman. Keberagaman tersebut dapat ditemukan pada suku, agama, ras, budaya, adat istiadat, bahkan kelas sosial.  

Menurutmu apakah dengan adanya keberagaman dapat membawa dampak positif pada Indonesia atau malah sebaliknya? Jawaban saya atas pertanyaan itu adalah iya, keberagaman membawa dampak positif bagi indonesia jika masyarakat Indonesia harmonis. Lalu, kembali timbul pertanyaan, bagaimana caranya mencapai masyarakat yang harmonis? Peran millenial lah jawabannya.

Sebelum membahas tentang milenial dan perannya untuk membuat Indonesia harmonis dangan keberagaman yang dimilikinya, saya akan menjelaskan terlebih dahulu konsep harmonis. Harmonis merupakan kondisi selaras atau bersatu-padunya keberagaman. 

Dengan kata lain, harmonis menggambarkan masyarakat yang serasi dan sejalan sehingga menghasilkan suatu kesatuan untuk mencapai kebahagiaan. Ada tiga konsep harmoni. Pertama, adanya keberagaman. Kedua, adanya hubungan timbal balik. Dan ketiga, adanya kesatuan.

Pada paragraf awal, saya sudah sedikit membahas mengenai keberagaman. Di paragraf ini, saya akan menjelaskan keberagaman lebih mendetail. Keberagaman (inti kata: ragam) berarti lebih dari satu atau banyak jenisnya. 

Dalam ilmu sosiologi dan geografi, keberagaman merupakan akibat dari terisolasinya sebuah wilayah dari wilayah lain. Dahulu kala, masyarakat yang mendiami Nusantara cukup sulit berinteraksi antar sesama warga nusantara. Hal ini disebabkan oleh Nusantara yang berbentuk kepulauan. 

Masyarakat yang tidak mendapatkan interaksi dengan masyarakat lain di luar dari pulaunya berakibat memiliki coraknya sendiri. Corak yang dimaksud merupakan kebudayaan--- mencangkup bahasa, adat istiadat, kebiasaan, cara berperilaku, cara berpikir, bahkan sampai cara berdoa. 

Tidak menutup kemungkinan, muncul juga anggapan bahwa kebudayaannya merupakan kebudayaan terbaik dibandingkan dengan kebudayaan yang lain.

Menganggap bahwa kebudayaannya merupakan kebudayaan terbaik dibandingkan dengan kebudayaan yang lain dapat menjadi masalah di masa sekarang. 

Berbeda dengan beratus-ratus tahun yang lalu, sekarang, masyarakat Indonesia sudah sangat mudah terhubung dengan satu sama lain. Interaksi bisa dilakukan sejauh genggaman tangan. 

Jika perilaku merendahkan kebudayaan lain lestari pada masyarakat Indonesia, tidak ada harapan lagi untuk mencapai masyarakat yang harmonis. Perilaku tersebut justru menimbulkan perpecahan untuk keberagaman yang Indonesia miliki. 

Namun, jika masyarakat yang beragam memiliki pemahaman tentang hubungan timbal balik antar sesama, perpecahan dapat dihindari. Selain itu, diperlukan sikap toleransi agar interaksi dapat berjalan dengan baik. Sikap toleransi ini muncul saat masyarakat memiliki empati dan mengetahui apa kewajiban dan hak yang ia miliki.

Sama halnya dengan masyarakat yang lain, milenial berinteraksi dengan masyarakat plural dengan latar belakang, ide, pendapat, dan pemikiran yang berbeda dengan dirinya. Generasi milenial perlu memiliki pemahaman akan hubungan timbal balik dan toleransi yang lebih dalam daripada generasi sebelum dan setelah dirinya. Milenial aktif menyuarakan pendapat dan pikiran mereka di dunia maya. 

Tak hanya itu, milenial juga mendomiasi aktivitas-aktivitas dan kegiatan di dunia nyata. Aktivitas tersebut memerlukan interaksi antar sesama masyarakat. Karena pemahaman mereka yang lebih dalam tentang hubungan timbal balik dan toleransi, mereka berperan memberikan pemahaman mengenai hubungan timbal balik di dalam masyarakat yang plural. Seseorang lahir pada kisaran tahun 1980-2000an diharapkan menjadi jembatan antara generasi sebelum dan sesudah dirinya.

Sebagaian besar arus informasi yang beredar dan interaksi sosial yang terjadi disumbangkan dari para milenial. Dengan kekuatan tersebut, saya rasa akan mudah bagi generasi milenial mengajak masyarakat lain agar sama-sama menumbuhkan sikap toleransi dan mengetahui bahwa ada hubungan timbal balik di dalam masyarakat yang menuntut kita untuk saling menghargai, bekerja sama, dan bersatu padu agar dapat menyikapi keberagaman yang ada.

Namun, bukan berarti perjalanan mencapai masyarakat yang harmonis akan semudah mengkampanyekannya. Menuju masyarakat yang harmonis tak bisa lepas dari rintangan-rintangan. Dalam kehidupan seorang milenial, rintangan sering dirasakan di dalam interaksi sehari-harinya. 

Rintangan-rintangan yang dihadapi salah satunya dapat berupa kebijakan-kebijakan pemerintah yang belum mensejahterakan rakyat dan justru memadamkan keberagaman yang ada di masyarakat. Ataupun rintangan berupa perdebatan tentang siapa yang benar dan salah karena adanya perbedaan pendapat di masyarakat.

Untuk menyikapi berbagai rintangan tersebut kita harus mengetahui bahwa di dalam keberagaman ada kelompok tertentu yang memiliki masa lebih besar diabndingkan dengan kelompok yang lain. 

Hal ini bernama mayoritas dan minoritas. Mayoritas merupakan sebutan bagi kelompok besar di dalam masyarakat, sementara minoritas merupakan sebutan bagi kelompok kecil di dalam masyarakat. 

Kelompok tersebut bisa berupa kelompok budaya, suku, ras, adat istiadat, ataupun kelompok yang paling berpengaruh adalah kelompok agama. Di Indonesia, sebanyak 87 persen, mayoritas beragama Islam. Sisanya beragama Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Perbedaan jumlah ini dapat bisa meredupkan eksistensi kelompok minoritas akibat pengaruh mayoritas yang kuat atau tidak adanya kesempatan bagi minoritas untuk menyuarakan pendapatnya. Jika ini terjadi, keharmonisan Indonesia dengan masyarakat yang plural sulit dicapai. 

Hal ini dikarenakan tidak ada rasa toleransi dari mayoritas atau kerja sama antara berbagai faktor dengan sedemikian rupa hingga dapat menghasilkan suatu kesatuan yang luhur. Sebagai contoh, seharusnya terdapat harmoni antara kegiatan di dalam masyarakat.

Kewajiban dan hak juga berperan untuk mencapai masyarakat yang harmonis. Contohnya, sebagai milenial yang beragama, maka ia wajib melaksanakan persembahyangan berdasarkan agama yang dianutnya. Ia juga memiliki hak untuk mendapatkan akses ke tempat persembahyangan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membangun tempat suci dekat dengan wilayahnya. 

Namun, hal tersebut terhambat karena mayoritas yang tidak mengindahkan ide pembangunan tempat suci tersebut dengan alasan ia juga memiliki hak untuk membatalkan kegiatan tersebut. Hal ini sebenarnya melanggar hak asasi orang lain. 

Setiap individu, tak terkecuali milenial memiliki haknya masing-masing. Namun, jangan sampai hal-hal yang kita perbuat justru mengganggu hak orang lain. Kita harus terlebih dahulu mengutamakan kewajiban yang kita miliki sebelum menuntut hak. 

Dengan pemahaman mengenai hubungan timbal balik, toleransi, mayoritas, minoritas, kewajiban, dan hak diharapkan masyarakat dengan keberagaman yang tinggi dapat menjalankan kehidupan yang sejalan dan serasi dengan anggota masyarakat lainnya. 

Selain itu, masyarakat juga menjalani kodratnya masing-masing. Jika sudah ada solidaritas, kekompakan, dan kesetiakawanan di dalam keberagaman tersebut, kita patut berbahagia karena harmoni sosial sudah berhasil kita wujudkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun