Mohon tunggu...
Satya Graha Habibilah
Satya Graha Habibilah Mohon Tunggu... Tutor - Undergraduate Student at Departement of International Relations Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta

Human Right Activist, Founder of Lintasduta.id, Abang None Jakarta Barat 2019, Cadre of Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Anilisis Peran Rusia dalam Konflik Suriah Ditinjau Melalui Prespektif Realisme

18 Mei 2020   23:36 Diperbarui: 18 Mei 2020   23:42 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Latar Belakang

Suriah secara resmi bernama Republik Arab Suriah merupakan sebuah negara yang terletak di wilayah Asia Barat dengan ibu kotanya Damaskus. Suriah menjadi salah satu negara di Timur Tengah yang diperhitungkan kekuatannya pada Perang Teluk. Menjadikannya sebagai salah satu negara di Timur Tengah yang keputusan dan tindakan politik nasionalnya menjadi pertimbangan Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan Irak. Rusia sejak masa Uni Soviet merupakan sekutu terdekat dan memandang Suriah sebagai socialist kamerad yang juga berimplikasi terhadap segala kepentingan Rusia di Timur Tengah.

Sejak awal berdirinya hingga peristiwa The Arab Spring yang dialami oleh Tunisia, Suriah merupakan negara yang relatif stabil walaupun berdekatan dengan negara-negara yang sedang berkonflik seperti Palestina-Israel atau Irak-Iran. The Arab Spring atau Musim Semi Arab merupakan gerakan revolusi yang menuntut pelaksanaan pemilu dan penerapan nilai demokrasi atas pemerintahan otoriter di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman dan Suriah yang didasari pada misi mewujudkan masyarakat yang terbuka dan egaliter. Protes yang berkembang di beberapa negara Timur Tengah tersebut mendorong terjadinya protes serupa di Suriah dengan berbagai tuntutan yang dipandang oleh otoritas domestik sebagai makar.

Konflik bersenjata di Suriah berawal dari "Darra Massacre" yakni peristiwa penangkapan 15 pelajar dan mahasiswa pada 6 Maret 2011 yang membuat grafiti kritikan bertuliskan As-Shaab Yoreed Eskaatel Nizam (rakyat ingin menumbangkan pemerintahan) dengan tujuan untuk mengganti Presiden Bashar Al-Assad sebagai bentuk realisasi solidatitas pelajar Suriah terhadap rangkaian peristiwa The Arab Spring di kawasan Timur Tengah. Rangkaian demonstrasi yang terjadi setelahnya sebagai bentuk protes rakyat Suriah terhadap diskriminasi pemerintah ditanggapi dengan beberapa operasi militer untuk menekan gelombang demonstrasi berbagai kota dan provinsi di Suriah agar tidak menyebar. Tindakan pemerintah yang dinilai melanggar hak asasi manusia seperti penangkapan dan penembakan demonstran di Damaskus pada April 2011 mendorong warga sipil, oposisi dan beberapa fraksi militer yang memutuskan keluar dari tentara nasional Suriah untuk membentuk unit perlawanan bersenjata revolusioner yang disebut dengan Free Syirian Army (FSA) atau Tentara Pembebasan Suriah.

Upaya untuk meredam demonstrasi melalui operasi militer terhadap masyarakat sipil mendapatkan kecaman dari komunitas internasional yang menuntut pemerintah Suriah menghentikan tindakan kekerasan terhadap warga negaranya. Menurut data dari Perserikatan Bangsa Bangsa, selama tiga tahun perjalanan konflik sejak tahun 2011 hingga 2013, lebih dari 100 ribu warga negara Suriah tewas dan lebih dari 2 juta orang mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Turki, Lebanon, Yordania, dan Jerman.

Pada Agustus 2011, Hillary Clinton menyatakan bahwa Presiden Bashar Al-Assad telah kehilangan legitimasi atas rakyatnya. Negara lain seperti Inggris dan Perancis juga menyatakan hal yang sama atas pemerintahan Bashar Al-Assad sekaligus menyerukan Presiden Suriah untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk reaksi dari penyerangan yang dilakukan oleh pasukan pro pemerintah di Damaskus terhadap kedutaan Amerika Serikat dan Perancis, diikuti dengan upaya pembahasan mengenai sanksi kepada Suriah melalui Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa berupa embargo ekonomi hingga pembekuan aset pemerintah Suriah di luar negeri.

Namun tidak semua negara yang terlibat dalam konflik Suriah membela Free Syirian Army atau mendukung pihak oposisi yang bertujuan untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Bashar Al-Assad, negara-negara seperti Rusia, Tiongkok dan Iran mendukung pemerintahan Bashar Al-Assad melalui berbagai upaya seperti memberikan bantuan politik oleh Rusia dengan menolak sanksi resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa terhadap Suriah sebanyak 3 kali selama tahun 2011 hingga 2012 serta pemberian bantuan peralatan militer berupa 28 pesawat tempur dan barak untuk 1500 tentara Suriah.

Peninjauan Melalui Teori Realisme

Kita dapat melihat beberapa konsep-konsep realisme dalam kajian analisis ini yang mengambil objek tentang peran Rusia dalam konflik Suriah sebagai berikut:

1. Konsep Kepentingan Nasional

Hans J. Morgenthau menyatakan: "Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun