Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan di Kepala Kita

15 April 2017   17:01 Diperbarui: 17 April 2017   03:00 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: ardiusrudi.blogspot.co.id"][/caption]

"Tuhan mesti ada di kepala!" katanya kepadaku. "Tuhan mestilah rasional. Kalau Tuhan tidak rasional, pastilah Dia bukan sesuatu yang berhak disembah. Atau, kalau pun tuhan tidak rasional, pastilah dia hanya produk pikiran manusia; akal-akalan manusia," tambahnya.

Saya jadi berpikir karena kata-katanya tadi. Apa Tuhan memang imaji manusia? Tapi ketika saya berpikiran bahwa Tuhan hanya imaji, pikiran saya langsung mengarah kepada argumen-argumen orang-orang yang tak mengakui kehadiran Tuhan. Mereka adalah para pemikir yang juga bisa berimajinasi sebagaimana manusia pada umumnya. Tapi nyatanya, tidak semua manusia berakal dapat mengakui kehadiran Tuhan di akal mereka. Dalam arti, bahwa Tuhan atau Sang Pencipta memang bukan produk delusif melainkan Dia dapat ditemukan oleh semua orang yang memikirkan kehidupan secara rasional. Jadi, bisa dikatakan bahwa Tuhan memang sudah ada di kepala kita dan kita bisa menemukanNya dengan memikirkan ciptaanNya.

Saya pikir, Tuhan memang ada di kepala kita masing-masing. Tapi kalau soal kenapa ada sebagian orang yang menafikanNya, saya kira itu lantaran Tuhan sendirilah yang menutup perasaan mereka sehingga kehadiranNya tak bisa dirasakan. Dia memang tak bisa tidak ada. Tapi di sisi lain, dalam konteks kesadaran manusia, Tuhan memang bisa (dirasakan) hadir atau tidak hadir.

Mereka tak bisa merasakan kehadiranNya yang begitu dekat pada diri mereka. Mereka merasakan Tuhan itu jauh, tersembunyi, atau bahkan tidak ada. Padahal, mana mungkin Tuhan terpisah dari kehidupan dan makhlukNya. Apa pantas Tuhan terpisah secara spasial dan temporal sebagaimana makhluk, sedangkan Dia bukanlah makhluk?

Walau Dia tidak terikat dengan ruang dan waktu, memang hal itu pun tak pantas dikaitkan denganNya. Segala ciptaanNya sendiri pastinya tak akan bisa mengikatNya. Bagaimana bisa Tuhan diatur oleh sesuatu yang Dia sendiri yang mengaturNya? Jadi, apa ada yang mengatur Tuhan? Kalau ada yang mengatur Tuhan, saya jadi bingung kalau Tuhan dimaknai seperti itu.

Memang, pembicaraan mengenai Tuhan tidak bisa tidak menuntut rasionalitas. Pembicaraan ihwal ketuhanan sebenarnya adalah persoalan universal yang memang akseptabel sebagaimana rasio itu juga tidak berbeda pada manusia satu dengan yang lainnya. Dan kalau harus berbicara dalam konteks perbedaan, hal itu pun sebenarnya disebabkan oleh keyakinan atau agama yang dianut. Agama mempersepsikan sesembahannya dengan persepsi atau sifat-sifat tertentu, dimana ini menjadi persoalan diferensial yang relevan dengan perbedaan-perbedaan pandangan hidup kita.

Tapi saya memang tak mau berbicara soal perbedaan keyakinan itu. Dalam arti, yang kita bicarakan di sini tak lain adalah Sang Pencita kita semua yang memang kompatibel dengan seluruh manusia. Jadi, persoalannya di sini adalah soal bagaimana kita mengenali Dia secara rasional dan tidak terikat dengan aspek keagamaan. Atau, kalau memang ada sebagian orang yang menganggap Dia bukan sebagai sesembahan, okelah kita anggap Dia sebagai Sang Pencipta Yang Maha Esa dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Memang, pembicaraan tentang Tuhan akan semakin rumit lantaran posisi kita yang selalu berada dalam sistem-sistem temporal dan spasial. Sedangkan pada Dia yang transenden, kalau kita membicarakan tentang Sang Pencipta, persepsi-persepsi tertentu mengenai Dia seringkali dianggap berbeda lantaran kita memahaminya dalam keterikatan sistem-sistem tadi. Perbedaan pandangan ini memang tak terelakkan dan niscaya pasti akan terjadi. Itu bisa terjadi karena perbedaan jenjang intelek dan spiritual, atau juga lantaran keyakinan yang dianut.

Dan nyatanya ketika seseorang semakin berusaha memahami Dia dengan keterbatasan nalarnya, dampaknya pada akal akan semakin membuat seseorang menjadi pusing. Dan bagi saya, di sinilah pengenalan terhadap Dia sudah tidak lagi berdasarkan atas penggunaan nalar yang terbatas. Setelah seseorang berhasil menemukan Tuhan, di sini Dia tidak lagi untuk dipikirkan namun untuk dirasakan. Atau dengan kata lain, aktivitas olah-pikir itu dikonversikan menjadi laku olah-rasa. Dan kalau memang perbincangan mengenai Tuhan lebih "aman" tanpa mengaitkan Dia dengan ciptaanNya, maka saya rasa ini pun sebagaimana kita semua memandang Dia secara rasional berdasarkan akal sehat.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun