Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Banyak Baca atau Banyak Mikir?

16 Mei 2017   20:12 Diperbarui: 17 Mei 2017   00:00 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi | www.rd.com"][/caption]

Kita memang generasi yang beruntung dimana kita bisa membaca banyak buku dari berbagai tema atau pokok bahasan. Mau itu buku keilmuan, buku hiburan, buku gambar, semua ada di depan kita dan kita tinggal bayar untuk bisa bawa pulang.

Dan kalau kita menengok sejarah dan saat ini; kalau nyatanya kita bisa mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru dari berbagai buku, lantas pertanyaannya: darimana orang-orang di jaman dulu mendapatkan pengetahuan kalau buku saja saat itu belum ada?

Begitu klise ketika saat ini kita lihat orang-orang menggalakkan kita untuk lebih banyak membaca buku. Di sisi lain, ada seorang teman yang ketika berbicara hanya sibuk menjelaskan isi buku tanpa bisa berargumentasi menuangkan pendapatnya atau pemikirannya. Mungkin di sini saya harus katakan bahwa perbedaan antara orang yang sekedar membaca dan mengingat isi sebuah buku dengan orang membaca, memahami, dan mengolah substansi sebuah buku, hal itu jelaslah beda.

Ya, memang buku tidak lain juga bisa menjadi sumber pengetahuan. Tapi tentu ketika di zaman dahulu tidak ada buku, maka seseorang mau tak mau akan lebih banyak berpikir dan melakukan olah spiritual untuk mendapatkan sebuah pengetahuan yang dalam hal ini adalah ilmu kebijaksanaan. Nampaknya saya memang harus mengatakan bahwa di samping kurangnya kita untuk membaca, sebenarnya permasalahan yang paling fundamental itu adalah kurangnya minat kita untuk berpikir atau memahami. Jangan anggap buku-buku itu sebagai gudang pengetahuan kalau seseorang hanya menelan bulat-bulat huruf per huruf atau kata per kata tanpa memahami dan memikirkan isi buku yang dibacanya. Bahkan ketika "membaca" suatu fenomena pun, nalar kita juga pasti berpikir untuk memahami hakikat di balik fenomena itu. Jadi, analogikan saja bahwa buku adalah suatu fenomena yang juga mesti dipahami atau dipikirkan. Apalagi, ketika buku-buku yang kita baca saat ini kita benarkan begitu saja substansinya seolah-olah tak ada suatu kegalatan; Apa kita yakin kalau buku-buku sejarah maupun buku keilmuan itu begitu otentik dan sudah pasti tak keliru presisinya? Dalam arti, apakah observasi atau analisis si penulis sudah pasti benar dan tak luput dari kekeliruan?

Nyatanya, kita tak bisa begitu saja mengatakan bahwa kita mesti bergantung pada buku-buku. Dengan kata lain, kita mesti bisa berpikir secara personal dan mencari pengetahuan itu sendiri.

Saya bukannya tidak membaca buku. Tapi bagi saya, buku saya membaca buku memang lebih kepada sebagai perbandingan atau komparasi pemikiran. Juga, di sisi lain, sebagai sebuah dialetika pemikiran atau pengetahuan. Karena, di samping lebih banyak berpikir sendiri, pastinya kita juga mesti tahu dengan pemahaman-pemahaman orang lain untuk kemudian kita bandingkan, kita telaah sehingga pemahaman-pemahaman pada diri kita mengalami perkembangan; tidak stagnan. Jadi, sebenarnya di tulisan ini saya hanya ingin menekankan pada sisi internal diri kita, yaitu usaha kita untuk lebih banyak memahami dan berpikir di samping perlunya kita untuk membaca. Dan cuma karena kita saat ini punya banyak buku sampai-sampai bisa buat perpustakaan, juga jangan katakan kalau kita ini lebih pintar, lebih bijak dari orang-orang di masa lalu yang tak punya buku. Jangan salah; itu belum tentu.

Yang paling esensial itu adalah apa yang ada dalam diri kita dan bukan apa yang ada di luar diri kita. Buku-buku tak akan memberikan apapun kalau kita, sebagai subjek, tidak aktif dan hanya sekedar membaca. Dengan kata lain, untuk memperoleh suatu pengetahuan, tak lain daya rasa dan daya pikir kita juga mau tak mau harus digunakan. Dari hal itulah saya tak lagi heran kenapa ada orang-orang sekolahan yang tidak bisa berargumentasi dan hanya mengatakan apa yang diketahuinya dari buku. Padahal, ketika kita sedang berkomunikasi secara verbal, disitu pula kita sedang menyampaikan gagasan kita, pendapat kita, atau pemikiran kita kepada orang lain. Dan dari hal itu jugalah kita bisa, setidaknya mengasumsikan, kapasitas intelektual seseorang. Tidak. Kita tak bisa menilainya dari jenjang pendidikan semata. Teman saya ini juga sedang menempuh pendidikan yang cukup tinggi. Sekali lagi, bahwa orang yang sekedar berbicara atas pengetahuan yang dibacanya dari buku, jelas lain dengan orang yang berbicara atas dasar pemikirannya atau pemahamannya.

Di sinilah kita juga bicara dalam konteks ilmu, karena ilmu itu adalah pengetahuan yang diolah, dipahami, dipikirkan secara mendalam oleh seseorang. Atau dengan kata lain, orang yang sekedar mengetahui tidaklah sama dengan orang yang berilmu; karena orang yang berilmu adalah orang yang mengetahui secara komprehensif esensi atau hakikat apa (pengetahuan) yang diketahuinya. Tak sama orang berilmu dengan orang yang sekedar mengetahui. Makanya dalam Kita Suci akan ditemui bahwa kata "'ilm" itu adalah pengetahuan. Tapi tentunya bukan pengetahuan yang sekedar diketahui, melainkan adalah pengetahuan hakiki.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun