Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama Itu Ideosinkretik?

17 Juni 2017   20:28 Diperbarui: 17 Juni 2017   20:50 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena agama dan penganutnya itu adalah realitas yang unik. Di satu sisi, agama bisa membuat penganutnya menjadi sangat taat, tapi sebaliknya, agama juga bisa membuat penganutnya berubah menjadi manusia-manusia pembangkang atau pemberontak yang habis-habisan mencaci maki tuhan dan kehidupan. Barangkali kalau dampaknya sebagaimana yang terakhir ini, hal demikian bisa menjadi indikator bagi agama yang keliru.

Kenapa? Apa penyebabnya? Mungkin karena ajaran maupun substansi pada kitab sucinya. Nyatanya, berdasarkan segi kemanusiaan saja, agama mestilah rasional dan "wajib" bisa menjawab segala kegelisahan pikiran manusia. Di sisi lain, mungkin persoalan ketuhanan juga menjadi penyebab sikap-sikap semacam tadi. Tuhan yang bagaimana sih yang diterangkan pada kitab suci dan anasir-anasir keagamaannya? Apa tuhan yang memang memiliki sifat-sifat mutlak ketuhanan? Atau, jangan-jangan tuhan yang masih memiliki sifat-sifat kemakhlukan? Logikanya, kalau Tuhan sudah dirancukan kedalam sifat kemakhlukan, pastinya itu sudah sedemikian salah karena yang dinamakan tuhan pasti tak layak diasosiasikan sebagaimana makhluk. Sekedar catatan, bahwa tulisan ini hanya melihat dari sisi fenomena sikap orang-orang beragama atas kehidupan dan tuhan yang direndahkan.

Barangkali sifat-sifat ketuhanan tadi pun tak bisa dilepaskan dari sikap manusia yang memaki-maki tuhan. Kalau dalam kitab sucinya diterangkan sifat tuhan yang bisa bingung, yang bisa dinasehati, yang bisa didebat dan lain sebagainya, rasanya pantas saja kalau penganutnya berani bersikap lebih memberontak daripada itu. Masalahnya, apa pantas tuhan direndahkan dan dimaki-maki?

Padahal berdasarkan rasio dan cara berpikir yang benar saja, bukannya tak mungkin sifat-sifat tuhan itu tak kita ketahui. Atau, bukannya tak mungkin kita tak tahu apa yang layak bagi tuhan dan apa yang tak layak baginya. Bukannya kita sudah mengetahui tuhan sebelum kita menjalani hidup di dunia? Tapi barangkali ini juga tak terlepas dari hierarki intelektual dan spiritual manusia dimana kedua hal itu berdampak pada bagaimana dia mengetahui dan mengenal tuhan.

Agama ideosinkretik, mungkin itu istilah yang pas untuk menggambarkan fenomena tadi.

Jadi sebenarnya tak usah jauh-jauh dan tak usah merepotkan diri untuk bisa menilai mana agama yang baik dan benar itu. Kitab Suci, sebagai prinsip dan fundamen agama, sebenarnya sudah bisa menjawab penilaian tadi. Tuhan yang seperti apa? Tuhan yang bagaimana? Atau ajaran apa yang diajarkan kepada penganutnya? Atau, yang paling klise, bagaimana agama itu mengajarkan soal pandangan dan menyikapi permasalahan maupun anasir-anasir kehidupan, pertanyaan-pertanyaan tadi sebenarnya sudah bisa dijadikan dasar penilaian untuk menentukan mana agama yang benar, atau mana kebenaran yang bisa dijadikan prinsip dan bisa dipercaya lantaran kebenaran itu hanya ada satu dimana hanya Sang Pencipta Yang Maha Benarlah yang menurunkannya. 

Pasti, bahwa itu hanya terdapat dalam satu agama. Yaitu, satu agama yang memiliki satu pokok ajaran yang sama dengan ajaran agama manusia lain sejak Adam sampai Kiamat nanti. Karena kalau ajaran dan esensi agamanya sudah berbeda dan tidak kompatibel dengan manusia-manusia terdahulu, pasti itu bukan agama yang sama dengan agama seluruh umat manusia. Lagipula, karena dia adalah agama seluruh umat manusia, pastinya dia memang mestilah hanya satu dan bukan agama baru.

Itu tadi sekedar penilaian objektif untuk menemukan agama yang benar secara rasional maupun historis. Makanya saya merasa aneh ketika seorang teman mengatakan agama itu tak bisa dijangkau akal; tidak bisa dianalisa, tidak bisa diferivikasi. Terus bagaimana seseorang akan mencari kebenaran kalau tidak dengan akal, nalarnya? 

Memang kita pun mau tak mau harus mengakui kalau agama yang diturunkan tuhan mestilah bisa diuji otentisitasnya; baik itu melalui ferivikasi historis, ilmu pengetahuan, maupun secara rasional. Jadi siapa bilang kalau agama itu terpisah dari aspek-aspek manusiawi? Atau, kalau tidak dengan usaha manusia, bagaimana penganutnya bisa merasa yakin kalau agamanya itu adalah agama yang benar? Apa cuma karena sekedar mengikuti tradisi keluarga? Ah, kalau hal demikian yang menjadi keharusan seseorang untuk memeluk suatu agama, alasan semacam itu bukanlah sesuatu yang bermutu. Coba saja lihat dimana-mana. Saksikan bagaimana saat ini orang-orang sibuk pingin menjangkau kebenaran agamanya sendiri dengan cara-cara manusiawi supaya benar-benar yakin dan tidak hanya sekedar mengikuti iman buta.

Atau, selain mempelajari kitab sucinya, sebenarnya dengan mengamati pemikiran dan sikap penganutnya pun ini juga bisa dijadikan indikator penting. Tapi dengan pengecualian, bahwa para penganutnya, yaitu manusia manapun, juga pasti tak terlepas dari kesalahpahaman dalam memahami agamanya sendiri.

Tapi mungkin untuk bisa menganalisis agama orang lain pun sebagian banyak dari kita masih emoh untuk melakukannya. Barangkali lantaran terlalu cepat menilai benar-salahnya suatu agama tadi. Yang pasti, sikap semacam itu harus disingkirkan dulu. Anggap sajalah kalau ajaran agama lain itu sebagaimana pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah-sekolah. Atau, anggap sajalah itu sebagaimana kita membaca suatu pandangan atau pemikiran orang lain. Apa susahnya sih bersikap demikian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun