Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa Perlunya Hidup Manusia?

19 Agustus 2019   17:19 Diperbarui: 19 Agustus 2019   17:30 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua kata yang mengejutkan pikiran saya itu muncul dari sebuah bacaan.

"... perlu hidup," di situ disebutkan. Apa ada yang salah dari kalimat itu? Atau saya yang selama ini tidak pernah menyadari keberadaan dua kalimat tadi? Bahwa manusia perlu hidup. Atau mungkin maksudnya manusia harus hidup. Walaupun makna antara "perlu hidup" dan "harus hidup" itu agak beda-beda tipis.

Memang sih, dunia ini bukan tempat kematian. Dunia ini tempat kita hidup. Bukan tempat kita mati. Persoalan mati atau kematian itu sudah tak ada lagi ceritanya di dunia ini. Seorang dokter berusaha menghidupkan seseorang yang sekarat. Di video-video juga banyak orang-orang baik yang berusaha menghidupkan binatang yang tenggelam atau terjebak pada sesuatu sampai begitu menyedihkan.

Tapi, kenapa pula kita harus hidup? Atau apa perlunya kita hidup? Apa keberadaan seorang manusia begitu berarti bagi orang lain di saat kita sekarang ini begitu senangnya merendahkan, mengalahkan, menghancurkan hidup orang lain, bahkan meniadakan nyawanya yang itu berarti meniadakan manusia itu sendiri? Lalu apa perlunya hidup seorang manusia bagi Tuhan? Padahal manusia cenderung merusak daripada memakmurkan bumi ini.

Dalam doa iftitah disebut "sholatku, hidupku dan matiku hanya kepada Allah". Logis memang, bahwa kita harus memurnikan dan mengorientasikan segala hal itu kepada Tuhan, dan tanpa pretensi.

Di dalam Al Qur'an tampaknya hidup seorang manusia di muka bumi ini begitu penting bagi Tuhan. Di balik kehidupan, saya hanya bisa berpikir positif bahwa Tuhan ingin memberikan yang terbaik kepada manusia. Bukan hanya soal kenikmatan di surga. Bahkan siksa neraka pun adalah yang terbaik. Surga atau neraka itu mestinya kita pahami sebagai pilihan. Surga adalah yang terbaik bagi orang-orang yang berbuat baik. Sedangkan neraka adalah yang terbaik bagi mereka yang melakukan kerusakan di dunia. Jadi, ya tinggal pilih saja mau berbuat baik atau buruk.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Tuhan juga terkesan menghargai seorang manusia sebagai makhluk yang aktif. Atau dengan kata lain Tuhan menghargai manusia sebagaimana sebuah subjek. Ini berbeda dengan paradigma kita yang seringkali memandang orang lain sebagai objek, atau sebagai media maupun alat untuk mencapai kepentingan pragmatis. 

Kita "memijak" orang lain untuk kita kemudian naik ke atas. Orang lain dianggap sebagai benda mati. Tapi tidak di mata Tuhan. Bahkan Tuhan juga berterimakasih kepada manusia, karena Dia sudah pasti akan menghargai suatu kebaikan kecil yang dilakukan. Tuhan tidak mungkin menganggap manusia sebagai makhluk sepele, walaupun Dia yang menciptakan.

Keberadaan manusia pun merupakan suatu niscaya. Saya kadang merasa aneh, kenapa Tuhan mau bela-belain mengadakan manusia-manusia di muka bumi sedangkan bumi ini nyatanya bukannya makin baik. Berapa sih perbandingan orang baik dengan orang jahat? 

Lucu rasanya, ketika kita memanfaatkan bumi ini dan membuat ini-itu, lalu kita tahu bumi saat ini sedemikian rusak, kemudian kita mencari planet lain buat pindah ke sana. Tanggungjawabnya di mana, coba? 

Kalaupun menemukan planet yang bisa dihuni, terus siapa yang akan pergi sana? Orang-orang berduit? Kapitalis? Para penguasa? Ilmuwan? Yang kemudian mereka akan pergi sambil dadah-dadah dengan senangnya ke arah orang-orang selain mereka, yang dibiarkan tinggal di bumi yang makin rusak.

dokpri
dokpri
Manusia itu bisa apa sih? Seberapa besar kekuatan manusia yang kecil ini? Di bumi kerjanya saling kalah mengalahkan. Apa itu termasuk keperluan kita untuk hidup? Padahal orang-orang yang mengalahkan itu juga gak akan bisa menang tanpa keberadaan orang yang dikalahkannya. Soal orang-orang kalah itu, mungkin kita pernah berpikir: apa perlunya orang semacam itu hidup? 

Ada yang mengatakan mereka sebagai sampah masyarakat yang tak berguna. Sampah, yaitu sesuatu yang dulu pernah kita gunakan, kita manfaatkan, lalu kemudian kita buang. Artinya, kitalah yang membuat mereka sebagai sampah!! 

Atau jangan-jangan hidupnya orang-orang semacam itu sebenarnya kita butuhkan? Kita butuh mereka untuk kita berbuat baik, atau sebaliknya, kita butuh mereka sebagai kepentingan yang sudah saya bilang sebelumnya. Aneh kan? Kita menyangka kehidupan orang lain tak penting, tidak kita butuhkan, tapi secara tak sadar --dan berdasarkan kenyataan-- kita membutuhkan mereka secara langsung. Artinya, ya mereka perlu hidup.

Seseorang yang tak berdaya, yang hanya bisa berpikir dan menggerakkan matanya sebagaimana Madame Raquin pada karya Emile Zola ternyata begitu berarti bagi Theresa. Padahal tak ada yang bisa dilakukan oleh orang yang sudah lumpuh tak bisa bergerak. Tapi ternyata sisa-sisa kehidupan itu masih membuat eksistensi seorang manusia begitu bermakna, walaupun lagi-lagi itu untuk kepentingan pragmatisnya sebagai seorang pengkhianat.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Tapi kalau kita lihat kenyataan, jangankan untuk kepentingan pragmatis, karena walau tanpa kepentingan apapun kita masih saja  menganggap sesuatu itu tidak ada. 

Dan begitu seorang manusia sudah tak ada, sudah mati dan menjadi benda mati, di situlah baru karyanya maupun segala perbuatannya menjadi begitu berarti. Kan aneh? Ketika ada malah ditiadakan. Begitu sudah tiada, malah diadakan, dikenang, dipuja, dipuji, dibanggakan segala macam.

Heran saya... Sungguh...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun